Chapter 4

94 19 1
                                    


Selamat membaca 🌟




Seperti malam-malam biasanya, ia sudah hampir terbiasa seperti ini. Menunggu, berharap-harap dan tidak jarang hanya bisa menelan kekecewaan. Tapi entah bagaimana ia terus saja menunggu, melawan rasa kantuk dengan harapan yang timbul tenggelam dalam benaknya.

Ia tau kalau jarum jam sudah hampir menekuk kebagian kanan, mengisyaratkan kalau mungkin saja semua yang ia lakukan akan kembali sia-sia, tapi ia tetap menunggu.

Menunggu, menunggu, menunggu.

Semua sudah seperti biasanya.

Popor tidak ingat bagaimana ia bisa terlelap, tapi saat pintu terdengar berderit nyaring ia sadar tengah memejamkan mata diatas sofa dengan posisi meringkuk, tapi kantuknya bagai lari terbirit-birit mengetahui kalau yang ia tunggu sudah tiba.

Saat itu jam satu malam, Chou berjalan santai disepanjang ruang tamu terlihat lelah dan kusut.

"Chang noi!!" Popor turun dari sofa, hampir saja seperti melompat, Chou agak tersentak tapi ia tetap berjalan menuju tangga.

Popor mengiringinya dari belakang. Mereka sampai dikamar dan Popor dengan sigap meraih jas Chou untuk ia lepaskan.

"Kau mau makan dulu atau---"

"Aku sudah makan, siapkan saja air panas, aku akan mandi." Tanpa memandang Popor Chou melonggarkan dasinya, mendesah lelah sambil membanting bokongnya keatas kasur.

"Baiklah." Jas hitam itu disampirkan rapi di lengannya, lalu Popor menuju kamar mandi, menyiapkan segala kebutuhan suaminya, lalu keluar lima belas menit kemudian.

Seperti sudah hapal, Chou buru-buru memasuki kamar mandi sesaat pintu itu terbuka, Popor baru satu langkah keluar ia sudah menutup pintu, tanpa bicara.

Popor tersenyum samar, ia sungguh sudah terbiasa.

Chou bukan tipe orang yang suka berlama-lama di kamar mandi, kurang dari setengah jam ia sudah keluar dengan kaos oblong dan celana panjang longgar, rambutnya masih gerimis, handuk kecil disampirkan di bahunya.

Popor duduk selonjoran di sisi ranjang, ia baru menghabiskan satu bab buku yang ada ditangannya, dan ia tersenyum melihat wajah segar Chou di depan matanya. Dan ia akhirnya menyadari kalau ia begitu merindukan suaminya itu.

Chou berjalan melewati kasur, pergi ke ruang kerja yang berada di samping kamar, lalu kembali dengan laptop ditangannya. Kasur bergerak saat ia duduk disisi seberang Popor, lalu mulai menyalakan laptopnya, tanpa melirik Popor seakan ia hanya sendiri dikamar besar itu.

"Tidak tidur?" Itu jelas pertanyaan basa-basi, mengingat sudah sangat jelas Chou mulai sibuk dengan layar laptopnya, tapi Popor hanya ingin memulai pembicaraan.

"Yah... " Chou mendesah lelah "pekerjaan ku sangat banyak."

Terlalu banyak hingga dia harus bekerja di atas kasur juga, pikir Popor. "Kau bisa mengerjakannya lagi besok."

"Tidak." Pertama kalinya Chou melirik Popor, tatapannya datar dan singkat.

"Baiklah." Popor menyahut serak. "Mau ku buatkan sesuatu?"

"Tidur saja Por."

"Oh." Popor mengadu gigi-giginya, mengenyahkan aliran kekecewaan yang merasuki dadanya. "Baiklah."

Popor meletakkan bukunya keatas nakas, lalu pelan merebahkan dirinya membelakangi Chou, mengubur setengah tubuhnya dibawah selimut. Sedangkan suara tuts yang terdengar dinamis satu-satunya suara di ruangan itu.
Ia tau akan sulit untuk memejamkan mata, tapi Popor berusaha sekuat tenaga untuk tidur. Lalu sebuah ingatan mengisi kepalanya.

Ia berbalik. "Chou, tadi sore aku kerumah Papa, sepertinya darah tingginya kambuh."

Chou berhenti dengan aktifitasnya, berpikir sejenak sambil mendongak memandang udara. "Pinta dia menjauh dari Han." Sepertinya Chou juga sangat hapal penyebab kambuhnya penyakit Liu, Han juga alasan terakhir ia sakit Minggu lalu.

"Papa menyayangi Han, dia tidak akan bilang tidak padanya."

"Sepertinya dia mirip seseorang." Chou bergumam samar, tapi Popor mendengarnya.

"Kau mau mengunjunginya besok?"

"Aku sibuk Por."

"Iya aku tau, tapi---" kalimat Popor harus terpotong karena lirikan sinis Chou padanya.
Dengan Pelan ia meletakkan Laptop ke atas kasur, lalu menghampiri Popor dengan satu gerakan yang sangat lembut. "Ku kira kau sudah mengerti." Chou meraih satu tangan Popor lalu mengecupnya ringan. "Saat perusahaan sudah berada dipundak ku artinya aku yang bertanggung jawab disana, dan kau tau apa tugasmu, kan?" Dengan gerakan sangat pelan Chou menelusuri rahang Popor hingga berhenti di dagu. "Seharusnya hal ini tidak perlu kita bicarakan lagi, harusnya kau sudah mengerti.

"Aku mengurus perusahaan, kau mengurus yang lainnya, termasuk Papa, haruskah ku jelaskan lagi?" Choi mengangkat alisnya, juga menaikkan dagu Popor di tangannya.

Popor menahan napasnya, entah kenapa ia tidak menyukai situasi ini.

"Ya." Popor menyahut parau.

"Kau yakin sudah mengerti?"

"Ya."

"Bagus." Chou tersenyum, lalu mengecup dahi Popor lama. "Sekarang tidurlah." Suaranya terdengar ramah namun tidak menyenangkan di telinga Popor, terdengar mengintimidasi dan kosong.

Chou kembali ke tempatnya, bahkan sebelum Popor menyadarinya, ia terlalu larut pada perasaan aneh yang dihasilkan sentuhan Chou. Entahlah ia merasa tidak nyaman dengan sentuhan itu, pertama kalinya setelah sepuluh tahun sentuhan Chou membuatnya takut. Seharusnya ia senang, Chou belakangan ini terlalu sibuk bahkan hanya sekedar untuk menyentuhnya. Popor akui ia merindukan Chou, setiap inci tubuhnya merindukan laki-laki itu, tapi setelah apa yang terjadi, Popor akhirnya sadar, semua sudah tidak sama lagi. Waktu sepuluh tahun cukup untuk memudarkan segalanya.

Popor sudah berusaha untuk tidur, tapi seperti dugaannya, ia bertahan dengan mata terpejam namun pikiran yang melayang kesana kemari, tanpa ia sadari hampir dua jam ia seperti itu masih dengan latar suara tuts keyboard Chou, ia benar-benar tertidur saat udara dingin sudah mengambil alih suasana malam itu.

Didalam tidurnya yang begitu singkat ia melihat sebuah mimpi, ah! Lebih tepatnya masa lalu yang berusaha ia lupakan. Tapi mimpi itu terlalu nyata tertanam di ingatannya.
Popor kembali dimasa ia berumur lima, kala itu ia berdiri disebuah ruangan berdinding putih, matanya terpaku pada dua ranjang berisi dua sosok yang tertutup kain putih usang, bercak merah menodai kain itu.

Ia hanya diam menatap tanpa suara, lalu dibelakangnya terasa sentuhan kecil dari tangan besar, Popor kecil menengok dari balik poninya yang panjang ia melihat Liu, wajahnya murung tapi tersenyum. Liu mengandeng tangannya berjalan menyusuri lorong sepi, mereka sangat jauh berjalan seakan lorong itu tanpa ujung.

Lalu suara alarm menyentak Popor, ia terbangun dengan kepala yang berputar-putar. Satu hentakan ia dapat menegakkan tubuhnya duduk sebentar di sisi ranjang. Tangannya sigap menyentuh tombol alarm.

Ia menengok kebelakang, sisi ranjang milik Chou kosong, dan suara keran berisik dari balik pintu kamar mandi. Popor beranjak, mencepol asal rambutnya, lalu keluar kamar.

Yah... Hari-hari biasanya dimulai lagi, hari biasa, kegiatan biasa, dan hati yang sudah terbiasa.






********
===BROKEN===
.
.
.
Chocogranule 2021

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang