Ruangan berukuran sedang yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa kura-kura alias kuliah rapat-kuliah rapat itu, tengah ramai dengan debat para anggota yang sedang berusaha mencari jalan tengah membahas tentang program kerja yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Tak jarang, ucapan pedas dan saling sindir terjadi. Egra, penanggung jawab dari jalannya program kerja yang akan dilaksanakan, sedang mengamati diskusi tersebut di pojok ruangan dalam diam, bahkan ia memasuki ruangan tersebut tanpa ada yang menyadari. Tugasnya adalah memberi arahan jika ketua pelaksana program tidak menemukan jalan tengah. Jika tak dimintai pendapat, bukan berarti ia akan menyesatkan, tapi sekadar memberi saran, selanjutnya akan menjadi keputusan yang menjalankan program kerja tersebut.
"Nggak bisa gitu dong, content writter sama copywriter masa disatuin. Job desk mereka aja beda. Kalau keteteran lo mana mau bantuin!" ujaran bernada kesal itu datang dari salah satu anggota.
"Nulis konten dalam bentuk caption sama artikel doang sambil merem juga bisa kali, nyiapin materi udah dibantuin sama tim kreatif. Gitu aja kok repot." suara bersahut-sahutan menanggapi ungkapan tersebut.
"Lemes banget congornya, jangan lagi deh lo nyepelein tugas orang. Kalau lo pikir gampang, lo kerjain aja sendiri." kata salah satu dari mereka menyahuti dengan nada sebal tanpa bisa ditutupi.
"Ya mau gimana lagi, kita kekurangan orang. Biasain diri lah, kerja dobel-dobel. Kalau mau open volunteer dari umum, nambah lagi ribetnya. Kasian tim kreatif kerja triple jadinya."
Egra berdecak kesal mendengar respon tersebut. Namanya Sergio, ketua pelaksana di program kerja yang akan terlaksana tersebut. Meski Egra setuju saja dengan solusi yang ditawarkan dari permasalahan yang kekurangan anggota, tapi melihat penyampaiannya di ruang diskusi yang terkesan merendahkan bukan hal yang bagus.
"Udah kan, nggak mau ada yang didebat lagi?" tanyanya pada forum yang berubah menjadi dingin.
"Bikin pamflet nggak ribet banget kok, bang. Menurut gue kalau mau open volunteer masih sempet, nggak mepet banget kok." kata suara perempuan yang merupakan salah satu tim content creator.
Sergio berdecak sebal, "Kenapa nggak bilang dari tadi? jangan pasif dong di forum, bikin repot. Ada lagi?"
"Lokasi acara on-site nggak jadi di taman kampus C, tim humas udah nyoba nyari tempat di luar kampus, tapi belum nemu yang cocok." suara lain terdengar ragu menyampaikan laporan tersebut.
"Lah, kenapa nggak bilang dulu sama gue? untung nggak ada senior yang join rapat, malu dong kalau kayak gitu!" gerutu Sergio terdengar sebal.
"Bang, mending bubarin diskusinya. Dari tadi bahasnya jadi melebar mulu!"
"Gue lebih baik terang-terangan gini, lo semua jadi ada alesan buat ngomong. Kalau di luar ini paling juga cuma jadi patung pas ditanyain," Ia berdecak kesal, "Udah lah, gue nggak ada mood lanjut diskusi. Lo ganti gue sini!" lanjut Sergio dengan marah, selanjutnya, Ia menarik tasnya yang ada di sofa dengan kasar, pergi meninggalkan ruang rapat dengan pintu ditutup keras, meninggalkan gema dalam ruangan yang tak memiliki banyak barang tersebut.
"Lah aneh banget anjing, agendanya mepet juga gara-gara dia yang sering ngulur waktu." ujar suara laki-laki.
"Nggak habis pikir ada yang milih dia jadi ketua pelaksana. Egois gitu."
"Hil, temen cewek cakep lo yang kemarin ikut diskusi terbuka, mau join copywriting nggak ya?"
"Dia jago urusan riset sama bikin artikel sih, tapi gue ragu dia mau ikutan join." Hilra, orang yang tadi menawarkan diri membuat pamflet open volunteer menjawab pertanyaan kepo dari teman komunitasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaryllis Triumph
Romance⚠🚫Triggered Warning⚠️🚫 Cerita ini mengandung unsur sensitif (mental health issues, beberapa adegan kasar, dan kata-kata kasar) jadi, dimohon dengan sangat kebijakan dan kedewasaan pembaca. Terima kasih :) Nafara terlalu pandai menghindar dari kera...