Hari ini seharusnya Nafara ada jam kuliah pagi, tapi karena ia telat bangun karena semalam sibuk mengebut deadline tugas yang akan dikumpulkan lusa, akhirnya ia memilih bolos kuliah saja.
Lagian, seingat Nafara mata kuliah pagi tadi tidak ada tugas atau presentasi yang harus segera dikumpulkan. Ia akan berangkat ke kampus nanti siang saja, di jam kuliah berikutnya.
Lebih baik begini menurut Nafara. Banyak tugas membuat ia lupa untuk menyingkirkan pikiran-pikiran tidak penting yang akan membuatnya menangis lagi. Bahkan Nafara terakhir kali menangis menjelang tidur itu minggu lalu setelah selesai menelepon Egra. Semakin bertambah semester kuliahnya semakin berat.
Sekarang ini Nafara sedang menikmati semangkuk bubur ayam di taman dekat kostnya.
Setelah selesai lari pagi, ia butuh mengisi energinya kembali. Di taman dekat kost yang dekat dengan perumahan ini, ia melihat segerombolan balita sedang bermain kejar-kejaran didampingi para baby sitter -Nafara menebak dari seragam yang mereka pakai- masing-masing. Pasti orang tua mereka sibuk bekerja, begitu pikir Nafara. Tapi anak-anak itu sepertinya lebih beruntung dari dirinya waktu kecil.
Mereka punya banyak teman, berbeda dengan Nafara yang dari kecil tidak diizinkan bermain bebas seperti itu oleh kedua orang tuanya.
"Hai, gue boleh gabung?" suara berat dari samping meja, membuat Nafara mengalihkan pandangannya. Belum sempat Nafara bersuara, cowok itu sudah lebih dulu duduk di kursi tepat di sampingnya. Nafara mendengus pelan.
"Lo...kayaknya nggak suka banget sama kehadiran gue." Oh sepertinya cowok itu tersinggung dengan dengusan pelan Nafara.
"Nggak, duduk aja." Nafara membantah singkat, menyingkirkan mangkuknya yang masih tersisa setengah. Ia meminum air putih yang tadi dibawa dari kost dengan sedikit canggung. Mengapa cowok itu menatapnya dengan pandangan aneh? Nafara jadi tidak nyaman.
"Kok buburnya nggak dihabisin? gue beneran ganggu? gue pindah aja deh,"
Astaga berisik sekali, apa susahnya tinggal makan. Batin Nafara menggerutu.
Cowok itu sudah akan beranjak, tapi Nafara menahan, "O-oh enggak, gue udah kenyang." Nafara memilih beranjak saja dari sini, tatapan cowok itu membuat Nafara risih. Menatapnya lekat sekali.
"Gue Sergio, panggil aja Sergi atau Gigi tapi tanpa Hadid, tetangga kost lo, nggak lupa, 'kan?" Nafara tahu dia tetangga kosnya, yang satu minggu lalu tidak sengaja berpapasan di kamar mandi, kadang Nafara juga melihat cowok ini di kampus, Nafara lupa namanya siapa.
Jadi Nafara membalas jabatan cowok yang ternyata bernama Sergio ini, "Nafara, 'kan?" Nafara baru saja akan menjawab, tapi Sergio sudah lebih dulu menyebutkan namanya, dengan senyum lebar menghiasi wajah yang menurut Nafara terlalu imut untuk ukuran cowok yang ia perkirakan kakak tingkatnya itu. Nafara hanya mengangguk pelan menjawab.
"Lo nggak keberatan nunggu gue selesai sarapan? Nanti pulang gue boncengin," Sergio melirik motor maticnya yang terparkir di seberang jalan.
"Makasih, tapi gue duluan. Permisi," untung cowok itu tidak memaksa, lagian jarak taman ini dari kost tempatnya tinggal tidak jauh.
Baru beberapa langkah kakinya meninggalkan warung bubur ayam tadi, ada suara teriakan yang sepertinya tertuju ke arahnya,
"Mbak, buburnya belum dibayar!" astaga Nafara malu sekali. Buru-buru ia kembali menghampiri warung tersebut lalu merogoh uang sepuluh ribu dari kantongnya, "Maaf, Bu. Saya lupa," Nafara meringis merasa bersalah.
"Iya, mbak, saya maklum. Tadi malah mau dibayar sama mas itu," Ibu pemilik warung tadi menunjuk ke arah pemuda yang masih duduk di tempatnya, melambai ke arahnya. Ada senyum geli yang berusaha ditutupi, tapi Nafara sudah terburu melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaryllis Triumph
Storie d'amore⚠🚫Triggered Warning⚠️🚫 Cerita ini mengandung unsur sensitif (mental health issues, beberapa adegan kasar, dan kata-kata kasar) jadi, dimohon dengan sangat kebijakan dan kedewasaan pembaca. Terima kasih :) Nafara terlalu pandai menghindar dari kera...