S I X

714 42 1
                                    

Terhitung sudah seminggu Haurra tak pergi bekerja. Tugas yang menumpuk dan tubuh yang kurang fit membuatnya mengambil keputusan untuk cuti.

Pagi ini adalah hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti. Tak ada kelas untuk hari ini, yang artinya Haurra akan menjaga Ranin Florest sehari penuh.

Dengan penuh semangat ia berjalan menuju halte bus dekat kost nya.

Pandangannya menyusuri tiap sudut kota, beberapa orang berlalu lalang mengejar waktu guna sampai tempat kerjanya dengan cepat, dan suara bising transportasi membuktikan ramainya Jakarta pagi itu.

Kakinya terhenti di halte bus, mendudukan pantatnya di bangku halte. Bus datang, kakinya melangkah menuju bus dengan sabar ia menaiki bus walau berdesak-desakan.

Turun dari bus lalu berjalan menuju Ranin Florest, yang jaraknya tak jauh dari halte namun dapat membuat Haurra mengeluarkan keringat.

Terlihat Anin turun dari mobil yang disupiri oleh suaminya. Menghampiri Haurra untuk memberikan kunci.

"Haurra, Mba ada acara keluarga. Ntar sore mba kesini kalo sempet." Ujarnya sebelum pergi.

Haurra memasuki Ranin Florest dan menata bunga agar terlihat lebih indah.

Kini jam menunjukan pukul lima sore, sore ini toko sedang sepi Haurra memutuskan untuk membersihkan beberapa bagian, yang terlihat berdebu dan menyapu ruangan itu.

Anin telah kembali ke Ranin Florest pukul empat sore, namun kini ia sedang beristirahat didalam.

Dibelakang Ranin Florest terdapat kamar dan ruang santai. Memang lebih terlihat seperti rumah yang didepannya terdapat sebuah toko bunga, daripada ruko.

Suara lonceng pintu berhasil menghentikan pergerakan Haurra yang sedang menyapu, menolah ke arah pintu dan menemukan lelaki bertubuh tegap dengan kemeja lusuh.

Tampak jelas guratan lelah diwajahnya, Haurra berjalan mendekat. "Ada yang bisa saya bantu?"

Haurra terkejut saat melihat lelaki dihadapannya adalah salah satu dosen dikampusnya. Lelaki dihadapannya tak kalah terkejut, namun hanya beberapa detik tatap terkejut itu segera tergantikan oleh tatapan heran. "Kamu?"

"Ehm.. Maaf bapak membutuhkan sesuatu?" Jawab Haurra, dengan tetap menjaga kesopanannya. Haurra pun tak mengerti harus merespon apa. Namun lebih baik ia bertanya tujuan dosen itu kemari, agar wajah menyebalkan itu cepat pergi dari hadapannya.

Ya benar, ia masih merasa sedikit kesal dengan perbuatan tak terpuji dosen itu.

"Saya ingin mengambil pesanan atas nama Rosa."

Haurra mencoba mengingat nama Rosa, namun ia merasa tak memiliki pelanggan bernama Rosa. Kakinya melangkah ke pintu yang menghubungkan Ranin Florest dengan ruang santai, menghampiri Anin yang menemani kedua anaknya menonton televisi.

"Maaf mbak, didepan ada seseorang yang ingin mengambil pesanan atas nama Rosa."

"Oh iyaiya, saya kesana."

Haurra berjalan dibelakang Anin, "Hai Tama, sudah lama ngga mampir. Sibuk banget ya?"

"Ehm ya, jadwal mengajar sedang padat." Ujar lelaki itu.

Anin mencari bunga dipojok ruangan, tempat penyimpanan bunga yang telah dipesan.

"Haurra, Bu Rosa itu ibu ibu yang minggu kemarin datang dan mengobrol denganmu." Ujar Anin menjelaskan kepada Haurra.

Tanpa diberi tau, Haurra dapat menyimpulkan Rosa adalah ibu dari Pak Tama.

"Dan Pak Tama sendiri anak Bu Rosa."

Kan bener!

"Ehm.. Iya mbak."

Bagaimana bisa wanita sebaik dan ramah Bu Rosa memiliki anak semenyebalkan Pak Tama?

Tama hanya diam menyimak pembicaraan kedua wanita didepannya.

Setelah selesai, Anin ke belakang setelah pamit pada Tama, lalu Tama berjalan menuju kasir dengan aku yang mengikuti dibelakangnya. "Ehm.. Jadi semuanya dua ratus ribu ya pak."

Beberapa detik berlalu namun Tama tak juga memberi uang untuk membayar. Pandangan Haurra bertemu dengan manik hitam Tama. Kepalanya mendekat, semakin mendekat.

Tubuh Haurra semakin kaku dengan bertambah menipisnya jarak mereka, ia tak bisa bergerak sedikit pun.

Dan meja kasir diantara mereka pun tak membuat Tama kesulitan.

Haurra memejamkan mata erat. "Mengapa kau ada disini?" Namun yang ia terima hanya sebuah bisikan, bukan... Ehm.

Dengan wajah memerah Haurra menjawab, "Ya karena saya bekerja disini."

"Part time?"

"Ya."

"Wajahmu memerah." Ucap Tama dengan senyum yang menghiasi bibirnya.

Setelah membayar, lelaki itu pergi meninggalkan Haurra dengan detak jantung yang masih bergerak dengan irama cepat.


H A U R R A Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang