Hari ini kami akan belajar di laboratorium dan akan melakukan penelitian kecil secara berkelompok. Jadi setelah kelompok kami dibagi, kami pun pindah ke laboratorium. Begitu kami duduk dengan kelompok masing – masing, ketua kelas membagikan lembar kerja yang nantinya harus kami isi.
"Baiklah anak – anak silahkan bekerja!"
"Baik Pak."
Kami pun mulai bekerja dengan serius. Aku yang menjadi ketua kelompok di kelompokku, bukan karena ingin tapi karena dipaksa. Jadi aku yang mengarahkan teman – temanku dan memberitahu mereka apa yang harus mereka kerjakan.
Setelah selesai mengisi lembar kerja kami diminta untuk mempresentasikan hasil penelitian kami. Karena aku ketua kelompok, jadi aku yang harus mewakili kelompokku untuk presentasi.
"Cukup untuk hari ini. Kalian semua boleh kembali ke kelas."
"Baik Pak, Terima kasih."
Akhirnya kami bisa kembali ke kelas. Aku benci berada lama – lama di dalam laboratorium. Aku tidak bisa bersandar di kursi karena kursinya tidak memiliki sandaran. Mau tidur juga tidak bisa. Begitu tiba di kelas, aku langsung menaruh tasku di atas meja untuk kujadikan bantal.
"Selamat tidur," gumamku.
"Ih, Adriiii.... Jangan tidur! Sebentar lagi Bu Lina datang. Aku heran deh, kok kamu bisa pintar padahal hobimu itu tidur dan makan. Setiap ada kesempatan kamu pasti langsung rebahan lalu tidur," ucap Eli.
"Aku selalu tidur karena tiap malam aku selalu begadang untuk belajar. Lagipula Bu Lina belum datang kan? Kalau dia datang aku akan bangun. Jadi jangan ganggu aku."
Tapi aku harap Bu Lina tidak masuk hari ini. Aku benar – benar mengantuk karena kemarin belajar sampai jam tiga pagi. Sayangnya keinginanku tidak dikabulkan. Bu Lina tiba – tiba masuk ke dalam kelas. Dengan berat hati aku harus mengangkat kepalaku ini. Aku hanya bisa berdecak kesal. Lalu mengeluarkan buku – bukuku dari dalam tas.
"Makanya kalau malam itu tidur, jangan belajar terus. Begadang itu tidak baik untuk kesehatan, kalau kamu sakit kan kamu yang rugi." Eli mulai menasehatiku lagi.
"Hm." balasku.
"Jangan hanya 'hm' saja. Dengarkan...."
"Eliza dan Adriana berhenti mengobrol." Kami mendapat teguran gara – gara Eli yang terlalu berisik.
"Maaf Bu."
*****
"Adriana, Eliza kami duluan ya."
"Dah... Adriana dan Eli."
"Ya sampai jumpa."
Akhirnya kami pulang juga. Aku ingin cepat – cepat bertemu dengan kasurku.
"Barang – barangmu tidak ada yang ketinggalan kan?" tanya Eli.
"Ya," jawabku singkat.
Kami pun berjalan keluar kelas. Selama berjalan di koridor, Eli tidak henti – hentinya bersenandung sambil berjoget. Bukan aku yang melakukan tapi aku yang malu. Aku menutup wajahku dengan buku karena malu diperhatikan orang – orang.
Begitu tiba di parkiran, Eli langsung menyalakan mesin motornya. Sementara aku duduk di atas motor Azka. Aku menengok ke kanan dan kiri, untuk mencari keberadaan Azka.
"Azka masih lama keluarnya?" tanya Eli.
"Entah. Kalau mau pulang lebih dulu, pulanglah!" balasku.
"Maaf ya Adri, aku soalnya mau pergi dengan sepupuku. Duluan ya."
Aku mengangguk lalu melambaikan tangan padanya. Ku ambil ponsel dari dalam tasku. Lebih baik aku bermain game sambil menunggu Azka datang.
"Adri!"
Oh itu dia, aku langsung menyimpan kembali ponselku. Kulihat Azka berjalan ke arahku, tapi dia tidak sendirian. Dia bersama seorang gadis. Aku bertanya – tanya dalam hati, siapa gadis itu? Aku pun turun dari motor Azka.
"Adri, kenalkan ini Balqis. Murid baru yang aku ceritakan waktu itu. Dia bilang ingin ketemu sama kamu jadi aku ajak ke sini," jelas Azka.
Aku langsung menatap gadis itu. Jadi gadis ini si murid baru itu? Gadis itu tiba – tiba mengulurkan tangannya. Sepertinya dia ingin berjabat tangan denganku.
"Kenalkan, aku Balqis. Kamu Adriana pacarnya Azka kan? Senang bertemu denganmu," ucapnya sambil tersenyum manis padaku.
Dengan ragu aku menjabat tangannya. "Aku Adriana, salam kenal."
"Nah, aku sudah menepati janjiku. Sekarang pulanglah, penjemputmu sudah datang kan? " ucap Azka, sambil tersenyum pada Balqis. Balqis langsung mengangguk dan berpamitan pada kami.
"Kamu janji apa sama Balqis?" tanyaku.
"Oh, aku janji mau mengajaknya bertemu denganmu. Kenapa?" jawab Azka. Aku menggeleng.
"Yuk, kita pulang juga!"
*****
Sejak tadi aku tidak bisa fokus, pikiranku terus tertuju pada kejadian tadi sore di parkiran. Melihat interaksi Azka dan Balqis membuatku jadi tidak tenang. Aku beranjak dari meja belajarku. Berbaring sebentar mungkin bisa membuatku sedikit tenang. Aku tidak boleh seperti ini, aku harus belajar. Tapi kalau aku tidak fokus bagaimana aku bisa memahami materinya.
Ku hembuskan napasku dengan kasar. Beberapa detik kemudian mataku menangkap foto ayah yang berada di atas mejaku. Aku mengambil bingkai foto itu dan memandangnya cukup lama.
"Ayah," panggilku, "Azka tidak akan meninggalkanku seperti Ayah meninggalkanku kan?"
Aku menatap sendu foto ayah, tiba – tiba air mataku jatuh membasahi foto itu.
"Ayah aku rindu padamu, ayah aku masih marah pada Ibu. Ibu makin sibuk dan tak ada waktu untukku. Ayah, Ibu hanya mencintai orang itu. Dia tidak peduli padaku padahal aku anaknya."
Aku mengadu pada foto ayahku. Aku sudah tidak waras karena berbicara dengan bingkai foto. Namun, hal itu selalu membuat beban di hatiku berkurang. Juga rasa rinduku pada ayah.
"Ayah aku merindukanmu," ucapku. Aku memeluk foto ayahku dengan erat. " Aku juga takut."
Next....
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa
Teen FictionAku masih berduka setelah kepergian ayah. Aku berharap setelah ini ibuku akan berubah menjadi lebih perhatian padaku. Tapi ia justru membawa luka baru untukku. Untungnya aku bertemu dengan kalian, juga dirimu yang menjadi sandaran untukku. Sosok yan...