"Oh ada tamu? Temannya Adri ya?"
Kami menoleh bersamaan. Kulihat ibuku dan orang itu berjalan menghampiri kami. Aku langsung berdecak kesal.
"Kalian hati – hati ya di jalan."
Aku beranjak dari sana setelah mengatakan itu. Begitu tiba di kamar, aku langsung duduk di kasurku dan menghela napas kasar.
"Adri, kamu baik – baik saja? Ibumu mencarimu, kau tidak mau menemuinya?" tanya Eli yang baru saja masuk ke dalam kamarku.
"Tidak," jawabku tanpa menatapnya.
"Hmm.... kamu mau jalan – jalan di sekitar sini? Mungkin mood-mu akan membaik jika kau berjalan – jalan diluar."
Aku mengangguk setuju. Saat kami lewat di ruang tamu Eli berpamitan kepada ibuku. Semetara aku langsung keluar ke teras. Kami pun pergi dan berjalan – jalan di sekitar komplek. Eli benar, aku merasa sedikit lebih baik setelah berjalan – jalan. Setelah cukup lama kami berkeliling, kami memutuskan untuk beristirahat. Kaki kami mulai pegal karena terus berjalan.
"Kita duduk di sana yuk!" Eli menunjuk ke arah pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempat kami berdiri. "Tapi kamu duluan saja aku mau beli minum dulu," ucap Eli.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat duduk di bawah pohon ini, aku melihat seorang gadis kecil bermain bersama ayahnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku jadi ikut tersenyum seakan merasakan kebahagiaan mereka juga.
Aku jadi mengenang kembali masa kecilku saat bersama ayahku dulu. Andai ayah masih hidup mungkin aku tidak akan seperti ini. Jika ayah masih hidup dia pasti akan punya banyak uban di rambutnya. Andai ayah masih hidup dia pasti akan menemaniku dan mengajakku jalan – jalan tiap akhir pekan seperti dulu. Andaikan.... aku hanya bisa berandai – andai karena nyatanya ayahku telah tiada.
"Adri, Adriana. ADRIANA! Tuh kan melamun lagi. Jangan melamun itu tidak baik. Nih aku belikan minuman."
Aku tersadar dari lamunanku karena kedatangan Eli. Ternyata dari tadi dia memanggilku tapi aku tidak mendengarnya. Kuambil minuman yang ia belikan untukku dan langsung meneguknya.
"Terima kasih Eli. Kita di sini saja dulu ya? Aku tidak mau pulang."
"Ya, aku akan menemanimu."
"Terima kasih Eli. Kau bahkan lebih baik dari ibuku." Tanpa kusadari air mataku jatuh lagi. Aku sudah menahannya dari tadi. Eli langsung mengusap punggung tanganku. Aku menangis sesengukan di depan Eli.
"Jangan begitu, bagaimanapun ibumu tetaplah ibumu. Dia sayang padamu. Kau tidak boleh membencinya." Aku menggeleng tidak setuju dengan ucapan Eli.
"Bagiku, aku hanya punya ayah. Sejak kecil sosok ibu tidak pernah ada dalam hidupku. Kalau memang dia menyanyangiku dia seharusnya mendengarkan aku. seharusnya dia tidak menikah lagi," ucapku dengan air mata yang terus berjatuhan.
Hampir seharian kami duduk di sini. Eli dengan sennag hati mendnegarkan curahan hatiku dan terus menemaniku di sini. Ketika langit mulai gelap kami pun pulang ke rumahku. Aku menyuruhnya untuk masuk dan makan malam di rumahku. Namun dia menolak karena harus segera pulang. Ibunya akan marah kalau dia pulang terlambat.
Malam harinya, aku sedang mengerjakan tugas sekolahku dan tiba – tiba Ibu masuk ke dalam kamarku. Dia membawa makan malamku dan meletakkannya di atas meja.
"Adri, Ibu mau bicara," ucapnya.
"Kalau membahas tentang orang itu sebaiknya Ibu keluar saja. Aku sibuk," jawabku sambil tetap menulis.
"Ibu dan om Raka mau liburan. Kamu mau ikut?" tanya Ibu.
Aku langsung menghentikan aktivitasku. Aku menarik napas panjang dan memutar badanku agar bisa berhadapan dengan ibu.
"Liburan? Ibu mau pergi liburan dengan orang itu? Ibu ingat kapan terakhir kali kita pergi liburan? Oh Ibu pasti lupa. Biar kuingatkan, kita liburan pertama dan terakhir kali saat aku berusia enam tahun. Setelah itu tidak pernah lagi. Dan bagaimana bisa Ibu memintaku untuk pergi liburan bersama orang itu?" jawabku.
"Adriana, tolong jangan seperti ini. Sampai kapan kamu akan membenci om Raka? Dia itu sangat sayang dan perhatian sama kamu. Jangan kekanakan seperti ini."
"Sampai mati. Aku akan membencinya selama itu. Aku juga sebenarnya membencimu Ibu. Kalau Ibu mau pergi silahkan pergi. Tinggalkan saja aku sendiri, sejak awal Ibu memang tidak pernah menemaniku."
Aku memutar badanku dan kembali menulis. Ibu langsung keluar dari kamarku. Kuletakkan pulpenku lalu menyandarkan tubuhku. Kupijat keningku karena kepalaku rasanya sakit sekali.
*****
Dari tadi aku hanya diam melamun di dalam kelas. Aku terus terbayang – bayang kejadian semalam. Saat ibuku mengatakan akan pergi liburan bersama orang itu. Hatiku sangat sakit ketika mendengarnya mengatakan itu.
Tiba – tiba ada pesan masuk ke ponselku. Pesan dari ibuku. Ternyata mereka berangkat hari ini. Ibu memintaku untuk mengajak Eli ke rumah agar ada yang menemaniku. Ibu juga bilang kalau ia sudah memasakkan makanan untukku.
Aku meletakkan ponselku dengan kasar di atas meja. Aku tidak sadar kalau ternyata bunyinya sangat keras. Sampai – sampai semua orang di kelas mendengarnya.
"Adriana, kamu kenapa?" tanya Fani sambil berjalan ke arahku.
"Tadi tanganku licin jadi ponselku jatuh. Maaf kalau kalian kaget," ucapku.
Untungnya dia percaya. Aku kembali melamun lagi ketika Fani kembali ke mejanya. Tidak lama setelah itu, Eli yang baru saja dari toilet bersama Putri langsung datang menghampiriku.
"Adri, pulang sekolah nanti kami mau ke rumah Putri lagi. Kamu mau ikut?" tanya Eli.
"Tidak. Aku hanya ingin di rumah saja. Dan tolong jangan tanya kenapa," tolakku. Eli menggangguk paham.
Next....
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa
Teen FictionAku masih berduka setelah kepergian ayah. Aku berharap setelah ini ibuku akan berubah menjadi lebih perhatian padaku. Tapi ia justru membawa luka baru untukku. Untungnya aku bertemu dengan kalian, juga dirimu yang menjadi sandaran untukku. Sosok yan...