"Adri, kamu baik – baik saja?" tanya Azka saat aku memberikan helm kepadanya. Aku hanya mengangguk.
"Serius?" tanyanya lagi.
Aku menghela napas lalu berpikir sejenak. "Azka, kamu sibuk?" tanyaku.
"Tidak, aku tidak sibuk. Kalaupun aku sibuk aku pasti akan meluangkan waktuku untukmu," jawabnya sambil tersenyum.
"Kalau begitu jangan pulang dulu," ucapku sambil menunduk. Azka mengiyakan sambil mengacak – acak rambutku.
Setelah aku mengganti pakaianku, aku pergi menemui Azka di ruang tamu. Kulihat dia sedang bermain game. Namun begitu aku duduk di sampingnya, dia langsung mematikan ponselnya.
"Ada apa? Kenapa dari tadi aku melihatmu murung terus?" tanyanya lembut. Aku menoleh dan menatap Azka. Tiba – tiba air mataku jatuh. Aku menceritakan kejadian kemarin dan tadi pagi. Azka langsung menarikku ke dalam pelukannya.
"Ssstt... jangan menangis. Aku kan ada di sini, kau tidak sendirian. Eli dan Tasya juga ada untukmu. Kami akan selalu menemanimu." Tangisku makin keras setelah mendengar ucapan Azka.
"Kalau begitu jangan pernah tinggalkan aku," ucapku di sela – sela tangisku.
"Iya, aku tidak akan meninggalkanmu. Memangnya aku mau kemana, sih?" balasnya.
Azka melepaskan pelukannya. Dia menghapus air mataku, dia bilang aku jadi makin cantik kalau menangis. Aku langsung memukul lengannya dan dia malah terkekeh.
"Bagaimana kalau kita makan saja? Kau sangat suka makan, kan? Mau kumasakkan makanan apa? Aku ini pandai masak," ucapnya.
"Terserah, aku akan makan semua yang kau masak selama rasanya normal," balasku.
"Siap bos," ucapnya sambil memberi hormat.
Dia pun pergi ke dapur dan mulai memasak. Sementara aku pergi ke ruang tengah untuk menonton TV. Sekitar dua puluh menit berlalu, Azka pun selesai memasak. Kami makan bersama di meja makan. Aku mencicipi makanan buatannya, rasanya enak. Aku tidak menyangka kalau dia pandai memasak.
"Enakkan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.
"Kalau kau mau aku akan membawakan makanan untukmu sampai ibumu pulang. Ibu juga pasti senang memasak untukmu. Dia selalu mencarimu, kapan – kapan mampirlah ke rumah," ucap Azka.
"Tidak usah aku bisa masak sendiri. Aku tidak mau merepotkan ibumu. Aku juga akan mampir nanti," tolakku.
"Baiklah,"
Setelah makan, Azka mengajakku untuk bermain game. Aku langsung mengangguk setuju. Terakhir kali kami main bersama aku kalah darinya. Kali ini aku pasti akan menang.
"Aku yakin kali ini aku pasti menang. Kalau kau kalah kau harus mentraktirku es krim," ucapku dengan bangga.
"Baiklah aku terima tantanganmu. Tapi kalau aku yang menang kau yang harus mentraktirku," balasnya.
Kami pun mulai bermain. Aku unggul beberapa poin dari Azka. Aku yakin aku pasti akan menang, namun setelah setengah jam berlalu poin Azka jauh di atasku. Aku kalah lagi darinya. Dia berteriak heboh karena menang lagi.
"Sesuai janji kau harus membelikanku es krim," ucapnya sambil menyeringai.
"Iya, iya ayo kita pergi."
Aku dan Azka pergi ke minimarket terdekat. Aku memintanya untuk memilih es krim mana yang ingin dia beli. Dia mengambil satu cup besar es krim rasa coklat vanilla. Aku memandangnya kesal, dia hanya tersenyum kepadaku. Aku pun berjalan ke kasir untuk membayar es krim itu. Tapi tiba – tiba tangan Azka mendahuluiku. Dia yang membayar es krim itu.
"Es krimnya sudah kubayar. Yuk pulang," ucapnya sambil menarik tanganku.
"Kenapa kau yang bayar?" tanyaku, bukannya menjawab Azka justru memberikanku es krim yang ia ambil tadi.
"Itu untukmu agar kau tidak sedih lagi. Yuk, pulang kita makan di rumah saja." Dia menarik tanganku lagi. Aku tersenyum karena sikapnya itu.
Sesampainya di rumah kami memakan es krim itu bersama. Azka tidak ingin memakan es krim itu kalau aku tidak menyuapinya. Tiba – tiba ponsel Azka berdering, ibunya menelpon memintanya untuk pulang.
"Adri, aku harus pulang. Kamu tidak apa – apa sendirian di rumah? Kau tidak mau memanggil Eli kemari?"
"Aku baik – baik saja. Aku tidak mau merepotkan Eli. Pulanglah jangan khawatirkan aku."
"Baiklah. Tapi kalau ada apa – apa langsung hubungi aku. Kunci semua pintu dan jendela. Jangan matikan lampu. Kunci pintu kamarmu..."
"Iya, iya pulang sana cepat," potongku. Dia cerewet sekali. Begitu dia pulang, aku masuk ke dalam rumahku. Mengunci semua pintu dan jendela lalu masuk ke kamar. Sebaiknya aku belajar untuk mengisi waktu luangku.
Tiba – tiba ponselku berdering, aku berdecak kesal ketika melihat nama yang tertulis di layar ponselku. Kuletakkan kembali ponselku di atas meja. Aku tidak ingin bicara dengan ibuku sekarang.
Next....
KAMU SEDANG MEMBACA
Nestapa
Teen FictionAku masih berduka setelah kepergian ayah. Aku berharap setelah ini ibuku akan berubah menjadi lebih perhatian padaku. Tapi ia justru membawa luka baru untukku. Untungnya aku bertemu dengan kalian, juga dirimu yang menjadi sandaran untukku. Sosok yan...