Sadha malas pulang. Sudah dua minggu dia menghabiskan lebih banyak waktu di hutan, lalu bermalam di pondok.
Kadang dia berendam seharian di air terjun, berusaha mendinginkan kepala, syukur-syukur hatinya. Kadang di hanya berayun di hammock hingga tertidur. Dia jarang ganti baju, lupa mandi dan tak pernah lagi bercukur. Dia merasa semua tak lagi ada arti.
Beberapa kali dia menjenguk kebun. Memberi makan ayam dan menyiangi ilalang liar yang menyerbu tanaman bunga di sekitar vila. Tapi dia menyerahkan pengelolaan hasil panen dan sawah pada Pak Iim dan Mang Ardan.
Sesekali, jika Pak Iim menyusul ke pondok, dia akan pulang. Setiap kali pula dia kesal jika dipaksa menginap oleh Bi Ami. Ibu selalu khawatir dia kekurangan makan.
Padahal di hutan, dia tak pernah kelaparan, meski jenis makanan yang tersedia di sekitar pondok tentu saja berbeda dengan masakan Ibu.
Untung dia menyimpan kecap, lada dan garam di pondok. Jadi dia bisa membakar ikan dengan sedikit rasa. Dia juga punya pohon cabe dan jeruk yang tinggal dipetik. Singkong, talas dan ubi manis juga tersedia jika dia tak malas membakar atau merebus. Praktis kok, tak perlu dikupas apalagi di cuci. Pendam saja batang singkong dan ubi manis ke dalam api unggun. Lalu belah dua. Tinggal makan.
Tapi perempuan tua yang baik hati itu mana mau percaya? Kadang, karena sangat menyayanginya, Sadha bersedia juga pulang.
Rasanya nyaris gila, menyadari betapa sunyi vilanya tanpa Tisa. Dia tahu, dulu sebelum Tisa tinggal di sini pun dia biasa sendiri. Itu sebabnya dia menyibukkan diri di kebun. Tapi belakangan dia terbiasa dengan kehadiran Tisa.
Baginya, Tisa gadis yang pemberani. Bahkan Rama juga terlihat rindu untuk bertengkar dengan perempuan itu. Beberapa kali Sadha memergoki sahabat gaibnya itu mondar-mandir ke kamar Tisa yang kini kosong. Bodoh, memang. Tapi kehilangan, kadang bisa membuat mahluk sesakti Rama, bisa selinglung itu.
Sadha masih berbaring malas di sofa beranda belakang. Kaki kiri di sandaran sofa, kaki kanan menjuntai di lantai, dua lengan dibentang ke atas. Bergulung, jungkir balik, tetap bosan. Bi Ami menghampiri dengan sebuah nampan di tangan.
"Makan dulu, Mas. Ini Ibu buatkan bubur sumsum. Masih hangat!"
"Kayak yang dibuat Tisa dulu, Bu?" tanyanya dengan mata berbinar.
Bi Ami menghela napas panjang. "Iya. Duduk sini," ajaknya sambil menarik hoodie hitam milik Sadha. Anak itu terpaksa bangun. Duduk dalam posisi bersandar.
Setelah Bi Ami duduk di sampingnya, dia melorot lagi di sofa. Kali ini, dua kaki bersandar ke sandaran sofa, kepalanya nyaris melewati batas sofa. Dua tangan melintang di lantai. Bi Ami menggelengkan kepala. "Kamu lagi ngapain sih, Le?"
"Heemmh ..."
"Ngapain kaki diangkat kayak gitu? Apa nggak pusing kepala di bawah gitu?"
"Nggg," jawabnya pendek.
Tak lama Pak Iim muncul dan duduk di salah satu kursi. "Tumben bubur sumsumnya nggak laku nih? Sudah nggak doyan sekarang, Mas?"
"Heeemh ..."
"Mbok duduk dulu, bicara sama kami. Ada yang perlu Bapak bicarakan. Mas? Sadha?"
Sadha akhirnya duduk bersandar di sofa panjang. Melipat tangan di dada sambil memasang tampang tak acuh. Siap mendengarkan.
"Silakan bicara ..." ujarnya dengan wajah yang dipaksa serius.
"Bapak mau bicara serius ini, Mas!"
"Iya ... (menguap) silakan bicara serius!" balasnya sambil berulang-kali menguap. Pak Iim menggelengkan kepala dengan gemas.
"Tadi ada telepon dari Bu Inggit. Dia kasih tahu kalau ayahmu sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
DAUN YANG BERBISIK (Sudah Terbit)
FantasyKamu bisa baca karya tamat saya yang lain di KBM Apps. Cari Kiantyyura ya? Ini tentang nasib buruk yang menimpa Sadha Kelana, seorang pemuda yang sejak kecil sudah ditolak oleh keluarga. Satu persatu, orang yang dia cintai pergi meninggalkannya. ...