Part 14 Biarkan Daun Bicara

310 56 22
                                    

Baca di sini saja. Tak usah repot-repot copy paste. Oke?


Mereka tidak menemukan Sugih dan kawanannya ketika sampai di vila. Bi Ami membekali cukup banyak makanan saat pamit tadi, sehingga mereka tetap bisa makan di villa meski dalam diam. Mungkin karena lelah dan sedih, mereka tidak begitu mempedulikan keberadaan Sugih dan para penjaga vila yang biasanya memang berkumpul di dalam paviliun.

Usai makan, Tisa menemukan Feli sedang duduk di beranda belakang sambil merenungi kolam renang yang sudah gelap di bawah sana. Sesekali ia mengusap pipinya yang basah karena air mata. Naya dan susternya sudah beristirahat di salah satu kamar, jadi Tisa memutuskan untuk duduk sebentar menemani Feli.

"Feli sayang, berhentilah menangis. Ini sudah malam, lho! Apa kamu nggak capek?"

"Iya, Teh! Maunya sih berhenti nangis. Tapi kalau ingat Mas Sadha, mataku otomatis basah. Gimana kabarnya? Di mana dia? Apa dia baik-baik aja?" Feli malah makin tersedu. Tisa menghela napas berulang kali. Tak tega mendengar tangis pilu sang adik sepupu. Feli pasti sangat bingung sekarang ini. Ayah sudah tak ada. Ibu sakit. Kedua abang yang tak jelas.

"Sebetulnya ada satu cara lagi yang bisa kita pakai meski belum pernah kucoba untuk memanggil Mas Sadha, Fel." ujar Tisa akhirnya, dengan suara pelan.

Feli menatap Tisa dengan pandangan heran. "Ada, Teh? Gimana caranya?" Tisa tertawa gugup. "Jujur aku agak ragu. Takut kamu nggak percaya. Tapi dulu, Mas Sadha pernah kasih tahu gimana caranya. Belum pernah dipraktekkan sih. Tapi worth to try. Kamu mau coba?"

Feli mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Teh! Mau!" ujarnya dengan penuh harap.

Diam-diam Tisa menuntun Feli menuruni anak tangga yang gelap menuju kolam renang. Meski takut, keinginan untuk bertemu Mas Sadha ternyata jauh lebih besar. Maka Feli mengikuti sang sepupu dengan jantung berdebar.

Mereka berhenti di depan gerumbulan pohon di tepi kolam renang, persis di pinggir sungai kecil. Tisa menyentuh semak-semak itu sambil bicara pelan, "Tolong sampaikan pada Mas Sadha, kami sangat ingin bertemu. Tisa dan Felicia ingin sekali bertemu Mas Sadha, tolong bantu kami menyampaikan pesan ke Mas Sadha."

Sunyi. Hanya ada gemerisik daun yang tertiup angin dan suara jangkrik. Tisa dan Feli saling berpandangan.

"Kenapa bicara sama daun, Teh?" tanya Feli bingung. Tisa hanya tersenyum lalu mengulang ucapannya beberapa kali, seperti sedang mengucapkan sebuah mantra.

Meski awalnya ragu, tapi Feli akhirnya juga ikut bicara kepada daun-daun itu. "Aku Feli. Ingin bertemu Mas Sadha. Tolong sampaikan salamku padanya!" Feli mulai menangis lagi. Rasanya seperti orang gila, bicara kepada daun. Tapi dia sudah putus asa.

Tisa merengkuh bahu Feli yang masih berguncang karena kesedihan, pelan saja dia membimbing adiknya untuk kembali duduk di beranda. "Biarkan daun yang berbicara padanya. Semoga salam kita disampaikan." bisik Tisa sambil membelai kepala sang sepupu.

"Aku nggak paham bagaimana daun bisa bicara? Jika benar Mas Sadha berada jauh di gunung sana, bagaimana pohon yang ada di vila menyampaikannya sampai ke gunung, Teh? Aku nggak ngerti!" Feli menangis lagi.

Tisa diam saja. Dipandanginya gerumbulan pohon di bawah sana dengan penuh harap. Dia merasakan desir angin malam menyapu wajahnya. Dia juga yakin angin menggerak-gerakkan daun di kebun mereka dengan lembut. Tisa tahu ada sesuatu di gerumbulan daun-daun itu yang punya kekuatan ghaib mencapai Mas Sadha di ujung sana, meski dia tak berani menceritakannya pada Feli.

Setelah satu jam Feli berhenti menangis karena lelah. Tisa mengajaknya ke dapur untuk membuat teh panas. Dia sedikit kecewa karena setelah satu jam, tak ada perubahan apa pun.

DAUN YANG BERBISIK (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang