Suatu sore, Pak Iim muncul dengan wajah cerah. Menyerahkan satu rantang penuh makanan dari Bi Ami dan beberapa helai pakaian bersih.
Karena ada Bu Inggit yang sedang menjenguk ayah, maka Sadha pamit keluar sebentar untuk berbincang dengan sang bapak asuh. Dia tampak semangat ingin mendengar kabar dari kampung.
Mereka duduk di sudut kantin rumah sakit yang tak terlalu ramai dan memesan minum. Sadha senang Bi Ami dalam keadaan sehat seperti Pak Iim dan dia senang dengan panen jagung mereka yang berhasil. Sudah hampir satu bulan Sadha di rumah sakit, jadi dia sebetulnya rindu.
"Mas, minggu lalu ada beberapa kali orang datang untuk melihat vila. Katanya diberi tahu Mas Sugih dan Mas Fatur. Mereka mau membeli vila? Kenapa Mas ingin menjual vila itu?"
"Terpaksa, Pak. Ibu bilang, butuh uang untuk biaya operasi dan perawatan Ayah. Apa mereka melihat-lihat sawah dan kebun juga?"
"Enggak. Sepertinya kedua abangmu nggak tahu soal itu. Pak Sugih nelepon Bapak juga kemarin. Menanyakan dokumen yang berkaitan dengan vila karena sudah ada yang fix katanya, tiga puluh milyar. Sudah kasih uang muka."
"Tiga puluh milyar?" Sadha tercengang.
"Iya Mas. Karena tanahnya kan lebih dari dua hektar. Itu saja menurut Ardan harusnya bisa jual lebih mahal kalau mereka mau sabar. Memangnya biaya rumah sakit segede itu, Mas?"
Sadha menggeleng. "Nggak tahu, Pak."
"Lah terus kalau vila dijual, Mas tinggal di mana?"
"Mereka minta aku tinggal di paviliun sekalian jaga vila. Jadi aku bisa dapat upah dari sana."
"Hah? Yang benar aja!" Pak Iim terkekeh. "Mereka nggak tahu aja berapa hasil kebunmu!"
"Mereka nggak perlu tahu."
"Iya, Mas. Bapak rasa juga begitu. Oh iya, pemilik rumah yang mau kita beli itu pesan, dia sudah terima transferan Mas Sadha. Jadi rumah itu sudah bisa kita tempati. Sudah kosong kok, Mas. Apa kita langsung pindah saja?
"Minta orang memperbaiki rumah itu. Bagian yang bocor ditambal. Tanahnya digemburi untuk ditanami nanti. Minta bantuan orang untuk membuat kolam ikan baru di belakang rumah. Pindahkan kandang ayam kita juga. Dan mulailah menanam lagi.
Cat ulang semua dinding supaya kelihatan baru. Pindahkan semua barang milikku yang ada di vila ke rumah itu. Nanti kalau sudah beres renovasinya, baru Bapak dan Ibu pindah.
Aku akan transfer uang ke Bapak, supaya Bapak bisa beli perabot baru. Jangan bawa apa pun dari vila, ya Pak? Aku tak mau dituduh mencuri. Hanya pindahkan pakaian dan buku-bukuku saja."
"Baik, Mas."
"Rumah itu punya tiga kamar dan satu kamar mandi, Mas."
"Buatkan satu kamar mandi lagi pakai kloset duduk ya, Pak. Pilihkan keramik yang paling polos saja. Aku akan menempati kamar yang paling belakang, dekat kamar mandi baru."
"Tapi kamar paling belakang itu kecil, Mas."
"Nggak apa-apa. Aku akan menetap di pondokku sendiri, Pak. Kalau sedang turun saja aku mungkin akan menginap."
"Ibumu takkan setuju kau menetap di pondok!"
Sadha terkekeh. "Tentu saja!" jawabnya santai.
Tak lama telepon genggam Pak Iim bergetar. Pak Iim menatap layar ponsel dengan kening berkerut. "Bu Inggit?" tanyanya heran lalu menempelkan ponsel ke telinga.
"Halo? Iya Bu. Masih, Bu. Apa?! Baik, Bu! Baik Bu! Kami segera ke sana!" Dengan panik Pak Iim mematikan ponsel dan menatap majikan mudanya. "Ayahmu kritis!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DAUN YANG BERBISIK (Sudah Terbit)
FantastikKamu bisa baca karya tamat saya yang lain di KBM Apps. Cari Kiantyyura ya? Ini tentang nasib buruk yang menimpa Sadha Kelana, seorang pemuda yang sejak kecil sudah ditolak oleh keluarga. Satu persatu, orang yang dia cintai pergi meninggalkannya. ...