Tisa bangun tidur sore dengan perasaan berat. Tidur siang yang sangat tidak nyaman, mungkin karena perutnya sudah sangat besar sekarang. Tidur miring pegal, tidur telentang kehabisan napas. Tengkurap? Mana mungkin. Belum lagi tiap dua jam dia harus mengosongkan kantung kemih.
Itu semua normal, kata dokter Fitri yang kini didatangi seminggu sekali. Tisa menghela napas panjang sambil menumpuk dua bantal untuk disandari. Sekarang dia lebih suka tidur dengan punggung disangga dua bantal begini, posisi nyaris duduk, sebagai alternatif berbaring yang lebih nyaman.
Vila juga tidak terlalu dingin sekarang. Jika di awal kedatangannya ke sini dia tidur dengan kaus kaki dan selimut tebal, sejak hamil tua dia tak butuh itu lagi karena selalu kepanasan. Tisa tak bisa membayangkan jika harus tinggal di Jakarta. Pasti dia perlu AC selama 24 jam.
Sayup dia mendengar suara-suara di ruang tamu. Karena ruangan itu paling dekat dengan kamarnya, tentu saja dia bisa mendengar tanpa berusaha menguping. Suara perempuan, lalu suara pelan terseret yang khas. Mas Sadha punya tamu?
Pelan dia berusaha bangkit menuju ke pintu tapi, ah! Kacau! Dia harus ke kamar mandi dulu. Untung saja dia buang air kecil. Dia jadi bisa melihat wajahnya yang kusut sehabis tidur. Tisa menggosok gigi dan mencuci muka agar tampak lebih segar. Dia memberi sedikit bedak dan liptint untuk bibir yang pucat. Dia tidak tahu siapa tamu yang datang tapi setidaknya dia tidak boleh tampil berantakan.
Tisa masih mendengar suara tawa saat Mas Sadha menggumamkan sesuatu yang tak begitu ia dengar, tapi begitu Tisa muncul, suasana di ruang tamu berubah sunyi. Dua gadis yang pernah ditemui di pasar Cipanas langsung berdiri begitu melihatnya.
"Eh! Ada tamu. Apa kabar Fika? Nurul?" sapanya dengan wajah heran. Apa mereka sedang libur dari jaga toko?
Mas Sadha menoleh sekilas padanya dan ikutan berdiri, "Kita bicarakan nanti saja," gumamnya pendek. Kedua gadis itu mengangguk dengan gugup.
"Teh Tisa, ka-kami pamit dulu ya?" ujar Fika sambil menghampiri Tisa untuk bersalaman, diikuti Nurul. Mereka juga pamit kepada Mas Sadha dan langsung keluar dari vila. Rupanya mereka berboncengan sepeda motor.
Tisa menoleh ke cangkir-cangkir minum yang sudah kosong di atas meja, juga beberapa toples kue yang terbuka dengan kening berkerut. Berarti mereka sudah lama mengobrol? Kenapa langsung kabur begitu dia muncul?
Dia duduk memperhatikan Mas Sadha yang sibuk membereskan meja dan menutup toples kue. "Kok tumben mereka ke sini, Mas?"
"Iya."
"Ada perlu apa?"
"Hanya mampir."
Entah kenapa Tisa merasa sedikit terluka dengan jawaban pendek-pendek dari lelaki muda yang kini mengangkat cangkir kosong untuk dicuci.
"Tapi sepertinya ada hal serius yang kalian bicarakan? Ada apa, Mas?"
Sadha menghentikan langkah dan menatap Tisa dengan pandangan malas. "Tidak semua hal menyangkut diri kamu, Non. Tak penting untuk dibahas."
Begitu saja dia berlalu menuju dapur dan membuat Tisa termangu. Sejak kapan Mas Sadha jadi ketus begitu? Apa karena gadis bernama Fika yang menatapnya dengan wajah penuh harap itu?
Tisa merasa hatinya sedikit sakit. Bukankah dia sudah jadi suami yang sah, bagaimana pun awal mula pernikahan mereka? Kenapa dia masih bergaul dengan perempuan lain? Dan bahkan tidak bersedia bercerita kenapa mereka datang?
Mas Sadha tidak tertarik untuk punya ponsel. Jadi komunikasi yang bisa terjadi adalah melalui tatap muka, dan Tisa baru sadar bahwa selama ini Mas Sadha sangat jarang ada di rumah di hari biasa. Apa dia tidak tiap hari ke kebun? Wow! Tisa! Kamu betulan naif!
KAMU SEDANG MEMBACA
DAUN YANG BERBISIK (Sudah Terbit)
FantasiKamu bisa baca karya tamat saya yang lain di KBM Apps. Cari Kiantyyura ya? Ini tentang nasib buruk yang menimpa Sadha Kelana, seorang pemuda yang sejak kecil sudah ditolak oleh keluarga. Satu persatu, orang yang dia cintai pergi meninggalkannya. ...