[1]

4.3K 385 37
                                    

Rose terbangun dengan kepala yang luar biasa pening. Sekelilingnya terasa berputar-putar, dan ia kembali jatuh ke ranjangnya. Merentangkan kedua tangan sejauh mungkin, lalu menghela napas mencoba menetralkan sakit di kepala.

Udara malam yang dingin berhembus masuk lewat jendela yang lupa Rose tutup. Sudah berapa jam ia tertidur seperti ini? Tubuhnya sakit semua. Pikirannya kacau dan tidak begitu mengingat kejadian yang ia alami sebelumnya.

Ketenangan ruangan itu langsung pecah akibat deringan ponsel. Masih menutup mata Rose meraba sekitar berusaha mencari benda persegi panjang itu. Namun tak kunjung ketemu. Memaksa Rose untuk membuka mata dan bangkit untuk mencarinya.

Gadis bersurai blonde itu berdecak sambil mengambil ponsel di atas meja dengan kesal. Menekan tombol hijau lalu menempelkan benda itu di telinga.

“Apa?”

“Jangan galak-galak begitu lah Roseanne.”

Rose tak merespon itu dan duduk di kursi balkon. Menyaksikan pemandangan malam yang berkelap-kelip dari apartemen lantai dua belas tempatnya tinggal. Udara lumayan dingin malam ini, namun tak membuat Rose serta merta meninggalkan balkon.

“Kau kemana sore ini?”

Rose menghela napas mengusap wajahnya, “Aku ketiduran sepulang dari minimarket sampai malam.”

Ia dapat membayangkan seperti apa wajah di seberang sana mendengar alasannya barusan. Tapi Rose tak mau ambil pusing memikirkannya. Dipejamkannya mata erat-erat lalu mengambil pasukan oksigen sebanyak mungkin sebelum akhirnya dihembuskan kencang.

“Serius? Kau terdengar seperti orang frustasi.”

“Apa aku pernah terdengar seperti orang baik-baik saja?”

Orang di seberang tertawa ringan sebelum memulai pembicaraan yang lebih serius. “Kak Jessica kelihatannya sudah benar-benar lelah menghadapimu.”

Sontak bayangan tentang sosok dingin Jessica bermunculan dipikiran Rose layaknya film. Juga perkataan menusuk yang diucapkan dengan nada rendah yang sering Rose terima akhir-akhir ini. Wanita bermarga Jung itu memang tidak pernah memarahinya dengan berlebihan, namun melihat seberapa seringnya membuat Rose lumayan muak.

“Biarkan saja sampai dia lelah sendiri.”

Kali ini helaan napas terdengar dari seberang. “Kau tidak bisa terus seperti ini.”

Rose tertawa kecil. Seolah apa yang barusan didengarnya adalah sebuah lelucon. “Urus saja dirimu sendiri, Lalisa.”

Perkataan itu lagi. Mungkin orang di seberang sana yang dipanggil Lalisa itu sudah sama muaknya seperti Jessica. Sekeras apapun mencoba, Roseanne Park yang dulu sudah hilang keberadaannya.

“Ayolah Rose, ada apa denganmu?”

Rose terdiam. Mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil di depannya. “Aku sendiri tidak tahu.”

Jawaban yang aneh memang. Tapi begitulah kenyataannya, Rose tidak paham dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. Mendadak ia hilang semangat untuk hidup, merasa apa yang ia lakukan selama ini tidak ada gunanya sama sekali. Ia tetap tidak mendapat kebahagian yang selalu diidamkannya.

“Ingatlah masih ada aku di sisimu. Kau sudah berjanji bukan?”

“Lupakan saja. Lagipula aku tak serius mengatakannya waktu itu.”

“Tapi tolong ingatlah bahwa sampai kapanpun aku akan tetap di sisimu. Sampai kau menemukan kebahagiaanmu.”

Rose tertawa keras kali ini. “Sampai aku menemukan kebahagiaanku? Roseanne Park tidak terlahir untuk bahagia, Lalisa. Ini sama mustahilnya dengan kau berusaha mengangkat gunung.”

“Setidaknya aku ingin melihat sedikit usaha darimu.”

Wajah Rose mendadak berganti menjadi kesal. Lalisa, satu-satunya sahabatnya dan satu-satunya orang dapat mengerti keadaannya. Selalu memberi dukungan yang sama sekali tak pernah dianggap. Satu-satunya pula orang yang dapat bertahan menghadapi sikap Rose. Dan sampai dititik di mana Rose bersikap sangat menjengkelkan seperti ini pun, ia masih bertahan.

“Kenapa kau selalu seperti ini? Mengurusi hidup orang lain padahal hidupmu sendiri masih berantakan. Urusi saja keluargamu yang hancur itu.”

Lalisa langsung terdiam mendengarnya. Merasa sesuatu menghujam tepat di jantungnya. Selama mereka berteman nyaris dua belas tahun, baru kali ini Rose melontarkan ucapan yang begitu menyinggungnya.

“Aku hanya ingin melihat senyummu lagi,” ucap Lalisa pelan mati-matian menahan tangis. Bohong jika ia katakan baik-baik saja. Ia sangat terluka sekarang. Sedangkan orang yang menyebabkan luka tidak peduli dan terkesan sangat ingin melihatnya segera enyah.

“Aku memang menyedihkan tapi tak perlu untuk kau kasihani seperti ini.”

Satu kalimat yang membuat Lalisa lagi-lagi terluka lebih dalam. Lalu tanpa diduga-duga Rose menjatuhkan ponselnya begitu saja seolah membuang sampah. Mendengus kasar dan menendang meja kecil yang sebelumnya menjadi tumpuan kedua kakinya sampai terguling jatuh.

“Persetan dengan semuanya.”

Coba nulis pake bahasa baku dan ternyata lumayan sulit karena kebiasaan nulis gak baku, masih berantakan bgt lagi😭 semoga kalian gak kecewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Coba nulis pake bahasa baku dan ternyata lumayan sulit karena kebiasaan nulis gak baku, masih berantakan bgt lagi😭 semoga kalian gak kecewa

Tiap chapternya aku buat pendek" aja karena masih latihan nulis bahasa beginian. Dan aku usahain buat update tiap hari, sekali lagi semoga kalian gak kecewa😭

Stranger ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang