[3]

1.8K 272 13
                                    

“Pesanan atas nama Kang Seulgi.”

Rose memindai seluruh ruangan, mencari-cari orang yang namanya barusan dipanggil. Seorang perempuan berjalan mendekat, lalu tersenyum begitu sampai di hadapan Rose. Rose sendiri malah tampak terkejut.

Perempuan ini adalah perempuan yang kemarin Rose selamatkan di jembatan itu.

“K-kau...”

Perempuan bernama Seulgi itu mengangkat alis melihat respon Rose yang tak biasa.

“Ya? Saya Kang Seulgi.”

Rose buru-buru menyodorkan pesanannya. Merasa aneh kenapa Seulgi bertindak seperti tak mengenalnya. Masa hanya dalam semalam bisa lupa?

“Kau baik-baik saja?” tanya Rose sesaat sebelum Seulgi pergi.

“Seperti yang anda lihat,” jawab Seulgi memandang Rose kurang senang.

Rose yang menyadarinya lantas mengangguk sambil tersenyum canggung. “Selamat menikmati.”

Ia memandang punggung Seulgi yang berjalan menjauh dengan tatapan aneh.

‘Ia bahkan tak mengucapkan terima kasih padaku kemarin.’

🥀

Telinga Rose berdengung mendengarkan ceramah Jessica yang tak ada habisnya. Ia dipanggil lagi ke kantornya sebelum pulang, dan inilah yang Rose dapatkan. Entah apa kesalahannya, yang jelas ia sama sekali tak bisa melawan.

“Kau terus-terusan berlaku seenakmu seperti ini, bagaimana bisa aku mempertahankan karyawan sepertimu?”

Rose menghela napas pelan. Tangannya gatal sekali ingin membungkam mulut cerewet Jessica. Ia berpikir bagaimana Krystal—adik Jessica—bisa betah mempunyai kakak modelan begini.

“Aku memberimu satu kesempatan lagi, gunakanlah untuk memperbaikinya. Kau boleh pulang sekarang.”

Tubuh jangkung itu menunduk hormat beberapa saat sebelum pergi. Sesampainya di luar cafe dengusan kasar keluar bersamaan dengan umpatan.

“Sopanlah sedikit dengan yang lebih tua, Rose.”

Gadis Park terperanjat kaget mendengar suara itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Lalisa. Gadis berponi itu masih setia menunggunya untuk pulang bersama seperti biasa. Bahkan setelah Rose melukai perasaannya ia masih saja berlaku seolah tak ada apa-apa di antara mereka.

Mereka lantas berjalan beriringan tanpa percakapan. Baik Lalisa maupun Rose sendiri enggan memulai pembicaraan. Masih canggung mungkin gara-gara perdebatan di telepon kemarin.

Bermeter-meter sudah mereka lalui, sampai pada akhirnya Lalisa mendengus tidak tahan lagi. “Kau akan pergi bekerja setelah ini?”

Rose melirik sekilas Lalisa, lalu mengangkat bahu. “Entahlah.”

“Bagaimana dengan sekolah? Ini sudah dua hari kau tidak masuk.”

“Aku tak peduli.”

Keadaan kembali hening. Mendengar jawaban Rose barusan Lalisa dapat menyimpulkan kalau sahabatnya ini sudah benar-benar tak memikirkan apapun lagi. Tapi ia tak bisa menyerah begitu saja sekarang.

“Kalau sudah tak sepeduli itu mengapa kau masih berangkat kerja di cafe hari ini?” tanya Lalisa berharap mendapat jawaban yang sedikit menunjukkan semangat hidup dari gadis disampingnya ini.

Kemudian terdengar lagi dengusan yang sama ketika Rose keluar dari cafe tadi. “Rokokku habis dan ponselku rusak.”

Kecewa dengan jawaban itu, Lalisa nyaris tak berharap lagi Rose kembali menunjukkan semangatnya yang telah lama hilang.

“Lalisa.”

Yang dipanggil hanya menoleh menunggu ucapan berikutnya. Udara malam yang berhembus menerbangkan rambut panjang keduanya, mereka dulu bahkan mengubah gaya rambut di salon yang sama.

“Apa hidup sepenting itu?”

Lalisa mengerutkan kening sambil memiringkan kepala. “Tentu saja.”

“Begitu ya.”

Kembali terbayang kejadian kemarin malam di jembatan itu. Jujur, sesampainya di rumah Rose terus saja merenungkannya hingga pagi menjelang. Mengingat perubahan raut wajah si perempuan pucat membuat Rose merasa aneh.

Sama halnya dengan usaha si perempuan pucat untuk bunuh diri, sekarang ia percaya sekali bahwa kebahagiaan untuknya itu tidak ada, memilih terjatuh dalam keputusasaan yang mendalam. Lalu nanti setelah ia menemukan kekuatan untuk bangkit lagi seperti perubahan wajah si perempuan pucat yang mendadak jadi panik, apakah nanti Rose juga seperti itu?

“Kau memikirkan sesuatu, Rose?” Lalisa memecah lamunannya, membawanya kembali pada realita. Rose terkekeh meremehkan pemikirannya barusan, kemudian menggeleng.

“Tidak ada.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Stranger ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang