Perasaan Itu Terungkap

107 9 0
                                    

Selama beberapa saat aku dan Nabila masih belum pulang dan mengobrol berbagai hal, tiba-tiba seseorang mengagetkan kami berdua dari belakang, membuat aku dan Nabila sama-sama terperanjat dan langsung menoleh ke belakang. Tak ku sangka ternyata itu Vidi. Astaga, aku bisa merasakan debar jantungku yang menggila setiap melihatnya dan aku mulai gugup.

"Kenapa kalian belum pulang?" tanyanya.

"Oh, Vidi," sapaku, berusaha agar suaraku tidak terdengar gugup. "Aku belum dijemput. Kau sendiri? Bukankah tadi sudah pulang?"

"Ya, aku kembali untuk mengambil buku catatanku yang ketinggalan."

Nabila berdeham untuk mengalihkan topik. "Vidi..."

Tiba-tiba aku merasa suasana berubah menjadi menegangkan. Aku tidak cemburu bila Nabila berbicara dengannya. Tapi aku curiga dengan apa yang ingin Nabila katakan pada Vidi. Apalagi saat melihatnya menyunggingkan seulas senyum licik, aku semakin curiga.

"Kenapa?" tanya Vidi penasaran. Lalu ia menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya. Bodohnya aku hanya diam menunggu kelanjutan kata-kata Nabila. Aku merasa seperti disihir. Tidak bisa bergerak, tidak bisa mengucapkan apa pun, dan tidak bisa memikirkan apa pun.

"Sebenarnya Willa menyukaimu!" Sial, Nabila benar-benar mengatakannya!

Aku merasa jantungku seakan berhenti berdetak dan napasku tertahan. Apa yang baru saja kudengar tadi? Aku melotot ke arah Nabila, tetapi terlambat sudah. Nabila sudah beranjak pergi membelakangiku sambil tertawa puas meninggalkan aku dan Vidi berdua.

Ya Tuhan, aku sangat malu untuk berhadapan dengan Vidi. Aku sangat berharap saat ini bumi menelanku, supaya aku bisa menghilang dari pandangan Vidi. Tapi harapanku tentu tidak mungkin akan terkabul.

Aku yang terdiam cukup lama berusaha menoleh setelah beberapa saat. Dengan sangat canggung dan gugup, aku berusaha menatap mata Vidi yang langsung dibalas olehnya.

"Tidak, Vidi. Jangan percaya kata-kata Nabila. Itu tidak benar." Aku berusaha membuatnya percaya padaku. "Aku... aku pulang dulu..." ujarku langsung bergegas melangkah pergi meninggalkan dia yang masih berdiri mematung dengan tatapan kosong. Saat ini pergi darinya adalah pilihan terbaik.

Keesokan harinya saat di les, Cessy datang dan mengambil tempat duduk di sampingku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya saat di les, Cessy datang dan mengambil tempat duduk di sampingku.

"Eh, Willa.." bisiknya. "Dia mau tuh!" serunya, berhasil membuyarkan konsentrasiku yang tengah berusaha fokus menghafal.

"Siapa dan mau apa?" tanyaku mengerutkan kening tidak mengerti.

"Gosip menyebar cepat. Seisi les ini sudah tau kalau kau menyukai Vidi!"

Terlintas lagi insiden memalukan semalam. Bisakah untuk beberapa hari ini, jangan ada yang membahasnya? Aku sedang berusaha melupakannya. Aku bahkan tidak nafsu makan, dan tidak bisa tidur nyenyak. Sejak kedatanganku setengah jam yang lalu, aku belum bertemu dengan Vidi.

Jika yang lainnya justru menyunggingkan senyum padanya, lain denganku. Aku justru tak ingin menampakkan wajahku di depan Vidi. Aku masih belum siap bila bertemu dengannya. Tapi, aku juga tidak bisa menghindar dari kenyataan ini.

"Willa, kau mau juga, kan?"

"Aku tidak suka sama dia, Cess!"

Eh, apa yang barusan kukatakan? Apa baru saja mulutku bergerak sendiri?

Ya Tuhan, aku menyesali kata-kata yang terlontar dari mulutku. Sungguh. kata-kata itu meluncur begitu saja. Harusnya aku menjawab, 'IYA MAU!'

Tapi.. tapi tidak mungkin juga untuk berpacaran di usiaku yang masih muda ini. Aku juga sudah memikirkan ke depannya. Apabila kita berpacaran dan suatu saat putus, maka aku harus kehilangan pacar sekaligus sahabat. Aku tak mau persahabatan ini hancur karena setitik cinta ini. Persahabatan tentu lebih berharga daripada cinta.

Cessy langsung terdiam begitu mendengar jawabanku. Dia memandang ke seberang, aku mengikuti tatapan matanya dan mataku melebar kaget. Vidi berdiri mematung di sana, entah sejak kapan. Dia.. dia pasti mendengar pembicaraan kami. Ya Tuhan...

Melihat kilatan kaget, marah, terluka, sekaligus kecewa di mata Vidi, membuatku ingin membalikkan waktu. Oh, betapa aku sangat berharap bisa menarik kembali kata-kataku tadi. Aku menggigit bibirku keras sembari menunduk, tak sanggup menatap Vidi balik. Aku tahu dia marah dan kecewa dengan ucapanku. Tapi aku tidak bermaksud mengatakan itu. Sungguh maafkan aku karena ucapanku menyakiti dirimu, Vid...

Aku hanyalah seorang pengecut yang tidak berani jujur dengan perasaanku sendiri.

Aku hanyalah seorang pengecut yang tidak berani jujur dengan perasaanku sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mencengkeram kepalaku dengan satu tangan dan meringis. Ini benar-benar seperti mimpi buruk. Kepalaku berdenyut-denyut seperti ini tiap kali aku mengingatnya, sejak tiga hari terakhir, tepatnya semenjak kejadian itu. Kupikir setelah itu, kita masih berteman seperti biasa. Namun ternyata dia berubah. Sifat Vidison Lawrence berubah 180° padaku.

Dia berhenti les. Dan di sekolah, dia menjauhiku seolah-olah aku adalah orang asing yang tak dikenalnya, dia juga sengaja menghindariku, tidak mau berbicara padaku lagi, bahkan tatapan matanya sekarang dingin terkesan seperti membenciku. Itu semua membuatku merasa tidak bersemangat, dan membuat suasana hatiku muram. Kalau saja waktu itu aku menghentikan Nabila untuk mengatakannya, akankah hal ini terjadi?

Aku tidak menyalahkan Nabila, aku menyalahkan diriku sendiri. Karena akulah yang membuat Vidi menjadi seperti ini. Kalau dari awal aku tidak punya perasaan padanya, ini pasti tidak akan terjadi.

Hari ini aku akan mencoba untuk mengajaknya bicara, aku tidak akan menyerah meski beberapa kali selalu berakhir dengan kegagalan.

Saat jam istirahat tiba, aku sudah menunggu dia di depan tangga sekolah. Aku mensyukuri fakta itu. Setidaknya kita masih satu sekolah, jadi aku masih bisa melihat dan bertemu dengannya. Walau tidak sesering seperti sebelumnya saat satu les.

Tak lama Vidi akhirnya turun. Aku gugup tapi ini waktu yang tepat. Tuhan, bantu aku.

"Vidi," panggilku dengan nada lembut.

Dia berhenti, menatapku tanpa mengatakan apa pun dan tidak memberikan senyuman manisnya. Saat itulah lesung pipinya tak pernah terlihat lagi, menghilang dari hidupku. Dia tidak seperti Vidi yang kukenal sebelumnya.

"Kamu... masih marah padaku?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya. Suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar kecil dan jauh. Jantungku berdebar keras menunggu jawabannya. Namun kenyataannya adalah dia tidak menjawab dan pergi begitu saja. Tunggu... Mengapa aku hanya berdiam melihatnya menjauh dariku? Mengapa aku tidak mencoba memanggilnya lagi?

Aku menahan air mata yang mulai mengenang dan mengaburkan pandanganku.

Tak ku sangka itu menjadi obrolan terakhirku dengannya. Lewat itu, hubungan kita semakin renggang. Kita tidak pernah bertegur sapa, bertatap muka, berbincang, bercanda, ataupun main bersama. Aahh.. Aku rindu kamu, Vid.

Vidison Lawrence, aku rindu kamu yang dulu...

Love Me Or Leave Me [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang