File 9

20 5 2
                                    

Lamina, 16 November 1882
Hutan Dunkee sebelah Utara
Ketika Anne disandera



Syukurlah. Takdir sedang dengan tangan terbuka melepaskan Anne dari jeratan gadis musang berbulu domba, Syckie. Entah disebut takdir atau nasib. Berkat Tristan. Kisah cintanya terdahulu konon. Entahlah. Anne tidak ingat apa-apa selain nama yang entah darimana ia hafal betul itu. Tristan bertolak jauh dari masa lampau menuju masa reinkarnasi seorang yang dinama Isolde. Katanya, seorang yang teramat sangat ia cintai. Seberharga itukah sampai Tristan rela menerjang portal berlapis antara masa lampau dan masa reinkarnasinya kini? Lorong waktu bahkan tidak bodoh dengan membiarkan makhluk immortal menjelajahnya dengan leluasa. Harus ada yang makhluk itu korbankan. Bukan semacam tumbal, namun lebih semacam hal berharga yang kita punya.

’Tristan, apa itu? Seberharga itukah aku? Isoldemu? Gadismu terdahulu?,’ batin Anne

Ingin ia menangis sejadinya. Anne bingung akan situasi yang dihadapinya kini. Bagaimana dengan kisahnya dengan Lumie? Bagaimana kisahnya dengan Tristan? Bagaimana kisahnya sebagai lakon protagonisnya dengan drama seorang psikopat seperti Syckie? Bagaimana kisahnya dengan Trevor ’n Luce si penebar cinta dalam tiap tiap degup jantungnya? 

’Lumie, sebenarnya untuk apa aku hidup? Bisakah kau tolong aku dengan menjelaskan semuanya secara rinci sampai aku benar-benar paham. Aku merindukanmu. Dan jujur, seperti ada sebersit rindu jauh di dalam hatiku untuk seorang yang bernama Tristan. Apa itu bisa dibilang rindu? Lumie, kau benar-benar mati atau bagaimana!’ batin Anne

”Sssttt, ada aku di sini cantik. Jangan takut,”

”Apa kamu seorang guardian yang Zeus kirim kembali untukku hah!? Sebenarnya siapa sebenarnya kau? Tristan? Apa kau benar Tristan?”

”Terserah dengan segala pradugamu mengenai diriku, yang terpenting benar, aku ini Tristan. Dan aku telah menolongmu, gadisku,” senyum lelaki itu tulus

Anne terbelalak saat lelaki yang baru saja menampakkan wujudnya bahkan batang hidungnya setelah berabad-abad lamanya ini mengatakan bahwa ia adalah gadisnya. Entahlah, rasa-rasanya sangat tidak masuk akal. Masuk akal saja memang, namun apakah ia sama sekali tidak berpikir realistis bahwa Anne bukan lagi Isolde, melainkan Anne. Bagaimana nantinya kelanjutan hubungannya dengan Lumie,  selungsung lelaki berparas tampan dengan tubuhnya yang satu, namun Anne tahu bahwa jiwanya seribu.

’Apakah takdir sesialan ini,’ batinnya

Sama sekali ia tak menampik bahwa apa yang ada disampingnya kini tampan sangat. Meskipun lubuk terdalamnya mengatakan bahwa Lumie jauh lebih tampan. Mata lelaki ini sebiru lautan, sangat indah namun sarat akan kesedihan. Entahlah, begitulah praduga Anne terhadap lelaki yang baru dikenalnya ini—tunggu. Tristan namanya. Mereka dahulu benar-benar saling mengenal.

Bagi Anne, Lumie masih segalanya. Ia masih sangat ingat saat pertama kali bertemu Lumie, Sang Pengendali Cahaya yang namanya dengan sengaja dibuang jauh-jauh seakan ia adalah sampah. Ingin rasanya ia menjelaskan dan meminta maaf atas kelancangannya tempo itu tatkala ia berusaha setengah mati untuk menutupi bahwa ia telah jatuh sejatuh-jatuhnya pada yang bernama Lumie. Gadis bringasan sepertinya masih ragu dan rendah diri untuk menyeruakkan isi hatinya pada sang pujaan hati. Takutnya, Lumie segan menerimanya. Ia tidak pernah bercermin bagaimana rupa wajahnya. Jadi, selama ini ia beranggapan bahwa wajahnya terlalu buruk untuk bersisian dengan seorang lelaki. Tunggu, apa yang membuat Trevor menjauhkan dirinya dari pantulan cermin? Seburuk itukah rupa wajahnya hingga cermin pun sepertinya enggan hanya karena Anne gunakan untuk melihat rupa wajahnya sendiri. Payah sekali jika takdir membenarkan praduganya itu.

”Hei, apa katamu? Gadismu? Aku bahkan sudah tidak terlalu ingat siapa dirimu, Tristan, sekaligus kisah cinta kita terdahulu itu. Tolong, jangan berkata yang tidak-tidak. Biarkan dulu aku mengobati traumaku karena gadis demigod brengsek itu,”

”Tenang. Kamu ada disini bersamaku. Traumamu dapat hilang lambat laun. Apa kau tak ingat kisah cinta kita yang terdahulu, Isolde?”

”Jangan berkata apapun dulu, tolong, aku masih harus mencerna apa yang tengah atau telah terjadi,”

”Sedikitpun kau tak pernah lupa namaku, gadisku. Sekali saja aku ingin egois, menentang takdir yang memberi sekat yang teramat jauh antara kita dan membubuhi suratan takdir bahwasannya aku ingin selalu ada di sisimu—pun aku ingin kamu selalu ada di sisiku juga. Isolde, gadisku, akhirnya aku menemukanmu. Tolong, jangan menjadi makhluk immortal yang naif dengan berpura-pura menutupi kenyataan bahwa kau masih benar-benar ingat akan diriku dan kisah cinta kita,”

”Setidaknya berterimakasihlah, cintaku,” lanjut Tristan

”Tristan, dengar, aku tidak terlalu ingat siapa kamu dan kisah kisah kita yang terdahulu meski aku ingat bahwa akulah reinkarnasi Isolde. Ak, ak, akuuu mencintai bahkan menginginkan dirinya, bukan dirimu. Maafkan aku, masa lalu dimana kita sama-sama saling mencintai,  biarlah menjadi memori terindah yang bisa kita kenang sepanjang perjalanan kita dalam meniti kehidupan kita yang baka ini sekaligus kita jadikan awal untuk sebuah akhir, Tristan. Dulu Isolde, aku, memang mencintai seorang Tristan, lelaki tampan di depanku ini. Namun, hari ini, detik ini, pada degup ini pula aku menyadari bahwa aku telah mencintai lelaki lain,”

”Siapa itu, Isolde. Siapa!!!!!” teriak Tristan

Entah bagaimana kepalanya benar-benar terasa sakit sekarang. Sangat sangat sakit hingga napasnya seketika berhenti. 10 detik kiranya. Sedikit-sedikit ia bisa mencerna bahkan mengingat kisahnya terdahulu. Tristan. Pria yang amat dicintainya dulu. Hingga seketika semua kembali seperti semula. Rasa sakitnya hilang. Napasnya kembali berhembus. Ingin ia menangis sejadi-jadinya hanya karena sepenuhnya mengingat seorang Tristan—sial. Hilangkan kata hanya. Selama ini ia hanya ingat bahwa dirinya seorang Gadis Pengendali Cahaya reinkarnasi seorang Isolde.

”Lumie. Lumiere Dover. Jangan salahkan dia. Aku yang telah menyalahi keharusan untuk tidak mencintai lelaki lain. Katakan bahwa aku jalang, sialan, brengsek, bajingan,” Anne menangis sesenggukan seraya menampar kedua pipinya  bergantian

Stop it Isolde! Kau mau membuatku mati berdiri karena melihat tindakan bodohmu melukai wajah cantik itu, hah!” Tristan memeluk Anne erat. Seakan tidak akan ada lagi hari esok dimana ia bisa menumpahkan rasa rindunya pada seorang Isolde. Gadisnya. Wanitanya. Cintanya yang teramat sangat.

Hiks, hiks, hiks, maaf Tristan. Maafkan aku. Aku telah menyalahi takdir yang kamu bangun sedemikian rupa. Aku berkhianat,” peluk Anne tidak kalah erat

”Kau tahu? Hatiku sangat sakit. Tidak ada perumpamaan—perandaian yang pas untuk mengungkapkan rasa sakitku ini. Sungguh, rasanya aku ingin mati saja Isolde. Zeus, bunuhlah aku,” Tristan menangis seraya menengadah dengan mata yang mengerjap berkali-kali.

”Aaaaaarghhhhhh, tolong!”

”Isolde! Sayang! Bertahanlah, aku mencintaimu”

’Apa ia bisa kembali menjalani hidup dengan seharusnya? Apa ia bisa kembali menjalani hidup dengan senang hati?’ Anne merasa menjadi makhluk yang paling naas sekarang. Lantas, ia harus apa sekarang?

—TBC


Purwokerto, 23 Mei 2020
regardly,

sasa

Luz Eleonore [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang