Chapter One

3.2K 70 6
                                    

Suara gemuruh terdengar riuh di luar. Denting bel yang terpasang di pintu berbunyi tanpa henti selaras dengan beberapa orang yang terburu memasuki kafe. Aku melihat keluar jendela. Titik-titik hujan jatuh bersautan. Senyum langsung tercipta dari bibirku. Aku selalu menyukai hujan. Dia membuatku tenang. Gemericiknya yang jatuh seakan mendendang sebuah lagu pelipur lara untukku. Damai. Aku juga menyukai setelah hujan. Bau tanah yang terguyur oleh ribuan rintik hujan, membuatku membayang sebuah rumah di pedesaan. Indah dan tenang.

"Key," aku menoleh saat seseorang memanggil namaku lembut. Dia tersenyum.

"Kamu selalu menatap hujan seperti itu. Seperti kamu sangat jatuh cinta kepadanya."

"Memang," aku kembali menatap keluar jendela, "aku memang sangat mencintai hujan."

"Sepertinya, kamu lebih mencintai hujan dibanding aku."

Aku menoleh kemudian tawaku pecah, "Adit, come on. Kamu cemburu dengan hal yang menyebut namaku saja tidak mampu."

Dia hanya mengangkat bahunya dan kembali fokus dengan laptop di hadapannya.

Desember. Aku senang jika aku sudah berada di bulan ini. Aku senang karena aku akan lebih sering melihat hujan. Ya, Adit benar. Aku lebih mencintai hujan dibanding dirinya. Moodku akan berubah menjadi baik, jika sudah melihat hujan. Entah sejak kapan aku mulai menyukai hujan. Mungkin sejak hujan selalu memiliki cerita

*

Aku berlari terpincang dengan sepatu berhak tinggi. Seharusnya di musim penghujan ini, aku menggunakan sepatu kets yang sangat membantuku untuk berlari menghindari hujan. Aku berdiri di bawah pohon yang cukup lebat daunnya sehingga memungkinkanku untuk berteduh di bawahnya. Aku mengibaskan rok miniku yang basah.

"Harusnya tidak lupa bawa payung." Gumamku sembari menggosok-gosokkan tangan.

Dari kejauhan, kulihat seseorang dengan payung abu-abu sedang duduk di kursi taman tak jauh dari tempatku berdiri. Entah sedang apa dia di sana, tapi mungkin saja dia bisa membantuku.

"Hey! Seseorang dengan payung! Hey!" dia tidak menoleh. Sepertinya, suaraku teredam oleh suara gemuruh hujan.

"Hey!" aku mencoba kembali memanggilnya.

Dia menoleh dengan gerakan lambat. Seseorang dengan rambut setengah basah menatap ke arahku.

"Bisa kau tolong aku?!" aku mencoba menyamakan volume suaraku dengan deru hujan yang semakin deras.

"Aku ingin ke ujung jalan. Bisa kau antarkan aku?"

Dia tidak bereaksi apa-apa. Dia bangkit kemudian berjalan pergi dengan payungnya.

*

"Sombong sekali dia!" gerutuku setibanya di kantor. "Padahal aku hanya minta tolong untuk mengantarkan ke ujung jalan. Itu, kan, tidak jauh." Aku masih menggurutu sambil mengelap bajuku yang basah dengan tisu.

Karin langsung menyumbul dari kubikelnya, "hei, anak gadis tidak boleh menggerutu pagi-pagi. Nanti si bos gagal melirik, loh."

"Hei! Kamu ini malah meledek terus." Aku melemparnya dengan gumpalan tisu. Dia tertawa sambil menghindari lemparanku.

"Memangnya ada apa, sih?" dia melipat kedua tangannya di perbatasan kubikel milik kami.

"Tadi aku terjebak hujan di taman, lalu ada cowok yang duduk dengan payung. Saat aku minta tolong buat diantar ke sini, dia malah pergi. Mengesalkan."

"Mungkin dia kesal karena dia pikir kamu anggap dia tukang ojek payung."

"Ya, aku tidak bermaksud seperti itu." Aku memanyunkan bibirku. "Eh, bagaimana dengan bos ganteng itu? dia udah datang?" tanyaku antusias.

Tentang HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang