D-Day

2 0 0
                                    


Seragam hitam berlogo kepala singa di bagian dada kanan. Sudah tak asing lagi bagiku. Sekumpulan orang-orang berpakaian mirip denganku dan Aron, melingkar di lapangan seluas stadion bola, berisik di sana-sini. Berbagi cerita pasca liburan, menanyakan kabar, bertukar catatan akhir di rapor, atmosfer seperti ini, meski hanya dua minggu aku tidak menginjak rumput sekolah, terasa lebih lama dari itu.

Rumput hijau segar terpangkas rapi, dua gawang di kedua ujung kutub, bangunan bercat serba putih, menjulang tinggi hampir menyamai big ben. Tidak. Jauh dari ketinggian big ben, tapi tinggi, tentu saja.

Jam besar bulat yang dilekatkan di tengah-tengah desain bangunan, hampir menyentuh atap, adalah bagian terbaik dari pintu masuknya. Pintu dua daun bercorak abstrak yang anehnya enak dilihat, di dominasi warna merah dan emas, memberikan kesan "penting" setiap kali melewatinya.

Saat masuk ke dalam bangunan sekolah, aromanya kontras dengan saat diluar. Diluar udara terasa sejuk, dingin dan segar sedangkan di dalam aroma lavender menyerbak dari segala arah. Aroma yang disemprotkan berdosis normal, tidak membuat siapapun yang masuk ke dalam merasa pusing atau mual, alih-alih memberi kesan tenang dan serius.

Aroma yang cocok untuk meningkatkan semangat belajar.

"Ini akan jadi semester yang baik lagi, bukan?" Aron menyentuh pundakku. Aku menggenggam tangannya. "Tentu, kawanku."

"Holaaa."

Kami berbalik. Tidak terkejut dengan si berisik, Paul, yang selalu tidak tahu tempat saat ingin bersuara.

"Holaa," ucapnya lagi, lebih keras. Membuat siswa di sekelilingnya melirik ke arahnya.

"Terima kasih perhatiannya. Semoga hari kalian menyenangkan." Setelah mengatakan kalimat tak berguna itu, ia berlari ke arahku dan Aron, berjalan beriringan dengan kami.

"Kau tidak berubah ya," komentar Aron.

"Kesan pertama itu penting," ujarnya bangga.

Dulu, saat hari pertama masuk ke sekolah ini, aku ingat betul, Paul juga meneriakkan sapaan "hola" ke seisi ruangan. Kupikir dia mungkin hanya keceplosan atau semacamnya, tapi ia kembali berteriak "hola", anak-anak yang tak suka meliriknya risih, sedangkan yang lain hanya terkekeh menganggapnya lucu. Sampai seorang profesor mengetuk meja, barulah ia berhenti mengatakan "hola, hola".

Paul tidak merasa terganggu dengan lirikan tajam atau kritik terkait sifat periangnya. Justru inilah cara dia memperkenalkan dirinya pada orang lain.

"Begini lebih baik dibanding harus memulai sebuah percakapan basa-basi."

Aku dan Paul menjadi dekat ketika kami digabungkan dalam kelompok belajar di kelas sastra. Pertama kali bertemu, aku melabelinya si pembuat keributan tapi sekarang keributan itu menjadi ciri khasnya dan harus kuakui, salah satu hal yang kurindakan saat liburan.

"Arah jam 10," kata Paul, menunjuk ke sisi kanan koridor. Saat ini kami tengah dalam perjalanan menuju aula utama untuk memulai upacara.

"Itu jam 3, bodoh," sahut Aron.

Aku dan Aron melihat ke arah yang ditunjuk Paul. Seorang gadis berseragam seperti kami, berambut jingga menyala, persis kobaran api, keriting dan panjang. Di sisi kanan kiri pipinya dihiasi bintik-bintik halus. Ia memeluk buku tebal, celingukan.

"Kenapa?" tanyaku.

"Baru lihat."

"Dia cantik," komentarku.

"Nah! Kau mengerti maksudku." Paul memainkan rambutku.

"Kau akan mendekatinya?" tanya Aron.

Paul mengangguk malu-malu.

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang