Perbincangan Paul dan Profesor Armstrong

1 0 0
                                    

POV : Paul

Aku menutup pintu ruangan Profesor Armstrong. Sekarang hanya ada kami berdua disini. Semula aku memiliki energi yang meluap-luap karena dikelilingi banyak orang namun seketika pudar saat ditempatkan hanya satu lawan satu seperti ini.

Profesor Armsrong mengelilingi ruangannya sendiri seolah ini kali pertamanya melihatnya. Pertama ia membuka map yang teronggok di mejanya, lalu menutupnya. Kedua dia mengambil cangkir dari rak sebelum meletakkannya kembali. Ketiga dia menyeret kursi sedikit ke tengah lantas menyuruhku duduk.

Ia akhirnya duduk di kursinya sendiri setelah membuka beberapa halaman buku, menata tempat pensilnya dan mengisi cangkir dengan teh.

Ruangan Profesor Armstrong cukup luas. Meja seukuran grand piano di tengah ruangan, menjadi penghalang antara dirinya dengan tamunya. Kursi tamu disediakan sepasang, berwarna hiaju lumut dengan bantal kecil untuk bersandar. Di sisi kiri dan kanan ruangan di himpiti rak buku besar yang tingginya melebihi tinggi sang Profesor sendiri. Buku-buku tersusun rapi dan padat, tidak ada celah kosong diantara lemari.

Lalu di sudut ruangan, di sebelah pintu masuk, ada meja kecil yang diatasnya ditataki rak susun untuk menggantung cangkir porselen berwarna emas dan merah muda setinggi 3 tingkat. Tidak ketinggalan teko mahal, pemanas air, dan 3 toples seukuran ibu jari yang berisi bubuk.

"Nah," Profesor Armstrong melipat tangannya, memajukan dagunya, kini ia fokus seratus persen kepadaku.

Melihat pancaran matanya yang dingin dan berkharisma, sesuatu dalam diriku seketika merasa ketakutan. Aku belum pernah berbicara dengan Profesor Armstrong secara langsung sebelumnya dan tidak mengenalnya sebagaimana aku mengenal Profesor Duncan. Berbincang dengannya akan jauh lebih sulit dibandingkan bertengkar mulut dengan Profesor Duncan.

"Paul Reed? Apa aku benar? Kamu siswa angkatan tahun lalu, kan?"

Aku mengangguk.

"Jadi, Aron Mcartney adalah temanmu? Dan kamu tidak terima atas putusan sekolah mengasingkannya?"

"Maksud saya.. mungkin ada kesalahan dalam penyelidikan. Sejauh yang saya kenal, Profesor, teman saya itu, tidak mungkin." Profesor Armstrong memotong kalimatku degan anggukan yang terkesan meremahkan.

"Semua hal bisa terjadi, Paul. Kalian baru mengenal satu tahun, kamu bisa jadi tidak mengetahui semua seluk beluk tentang temanmu itu bukan?"

"Saya mengenalnya seperti saudara kandung! Kami—"

"Lalu bagaimana denganku dan Profesor Alvonso? Apakah kami tidak dekat? Aku sudah mengenalnya lebih dari 10 tahun, anak muda! Tapi siapa yang mengira nyatanya dia punya rahasia yang aku tidak tahu dan baru kuketahui setelah kematiannya?"

"Apa?" sahutku, terkejut sekaligus curiga.

"Yah, banyak hal terjadi sepeninggalan Tuan Alvonso dan kami berusaha membangun ulang sekolah agar tetap seimbang dan murid dapat menerima pelajaran sebagaimana seharusnya. Kusarankan kamu jangan terlalu lama larut dalam kesedihan, apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Bila memang seperti ini jalannya kamu sebaiknya menerima dengan lapang dada. Aron sudah mengakui perbuatannya."

"Aron mengakuinya??"

"Begitulah. Semalam dia baru saja membuat surat keterangan bersalah dan siap disidang bulan depan setelah mengurus beberapa hal. Kami memaafkannya dengan tidak melaporkan ini ke media-media besar dan memberi pengumumna lanjutan di sekolah karena dapat berdampak buruk pada pihak orang tua."

"Tidak mungkin," gumamku.

"Inilah yang terjadi, Paul. Lebih baik cepat lupakan semua kejadian menyeramkan ini dan isi ualng tenaga untuk menyambut hari esok. Semua akan baik-baik saja, percayalah."

"Bagaimana dengan para profesor wali yang hilang? Apakah pihak sekolah tidak melakukan pencarian??"

Profesor Armstrong terpana selama sepersekian detik kemudian menyeruput teh dari cangkirnya. "Kamu tidak dengar berita terbaru?"

Aku menengadah.

"Para profesor yang hilang sudah ditemukan dan mereka semua mengundurkan diri secara bersamaan dini hari tadi. Artinya, tidak bekerja lagi disini. Kamu tidak perlu memanggil mereka dengan sebutan profesor lagi."

"Apa!?" Aku terperanjat, sontak berdiri dari kursi.

"Kamu sudah terlambat untuk terkejut. Aku yang lebih terkejut karena diantaranya adalah teman seperjuanganku bertahun-tahun. Dan kamu disini membela pembunuh hanya krena baru mengenalnya setahun, sungguh lucu."

Aku tidak bisa berkata-kata. Mulutku terkunci tapi mataku terasa perih. Sesuatu seperti air siap turun kapan saja dari celah mataku.

"Sekarang kamu sudah mengetahui kondisi terbaru sekolah ini. Simpanlah rapat-rapat untuk dirimu sendiri. Saya jelas tidak bisa menoleransi pilih kasih dengan hanya memberitahumu seorang sebelum siswa lain diinformasikan secara resmi. Di samping itu ada hal lain yang harus lebih dipikirkan, Paul," ujar Profesor Armstrong, matanya berkilat.

Aku mengangkat sebelah alis.

"Pemilihan Guru Besar baru untuk St. Agustine. Kamu sebaiknya mempersiapkan nama, agar bisa bersenang-senang di tahun berikutnya apabila profesor kesukaanmu yang terpilih."

Aku keluar dari ruangan setelah berpamitan secara formal dengan sang profesor kemudian menangis terisak-isak sambil berjongkok di depan pintunya. Tanpa suara.

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang