Selamat Jalan, Tuan Alvonso Yang Agung

3 0 0
                                    

Jadi kesimpulan diskusi ini adalah : Kami tak mendapat ide siapa yang membunuh Tuan Alvonso tapi kami tahu bahwa Profesor Manda sudah tidak ada di tempatnya sejak awal. Lalu siapa disana?

"Teman-teman! Ini sungguh lucu. Bagaimana kita bisa langsung membuat asumsi dari karet rambut, siapa tahu dia menggantinya sebelum itu?" celetuk Nancy Muffin. Kacamatanya hampir merosot dari hidungnya.

Teman yang lainnya mengangguk, setuju. Jujur saja tidak masuk akal kalau melihatnya dari sudut pandang seperti ini. Semua bisa terjadi di menit-menit saat kita tidak melihat dia.

Suasana di ruang klub fisika kembali ramai. Masing-masing diantara kami berbisik dalam kelompok-kelompok, membicarakan masalah ini sendiri-sendiri. Sampai salah seorang dari kami mengangkat tangannya. Anak itu tidak asing bagiku. Gadis yang mengangkat tangannya duduk di dekat jendela, tidak ada teman disampingnya. Dia si gadis berambut jingga tadi. Aku baru saja menyadarinya duduk disana.

"Ya, silahkan," kata Edrick pada si gadis berambut jingga.

"Aku melihatnya. Profesor Manda yang kalian bicarakan itu, yang gendut dan pendek, wajah bulat, rambut dikuncir kuda tinggi, tahi lalat di hidung, kulit pucat, bukan?"

"Ya, ya. Kamu menggambarkannya dengan sangat baik," sahut Edrick.

"Seluruh profesor wali berdiri di samping kiri barisan kelompok yang mereka jaga, benar kan? Meski aku tidak berada tepat disamping profesor itu, aku berdiri dekat darinya. Dia mundur ke belakang saat hymne, barisan terujung kelompok barisan kita lalu saat tembakan dia sudah tidak ada lagi disana. Bersama 2 orang lainnya."

"2 orang?" Edrick menaikkan sebelah alis.

"Ya. Yang juga berdiri di belakangnya."

"Di.. dibelakangnya..??" Kami semua saling menatap.

Saat itu juga pintu ruang fisika dibuka keras. Itu siswi senior kami. Nafasnya tersengal, wajahnya merah.

"Aku mencari kalian kemana-mana tahu," ringisnya sambil menarik nafas.

"Informasi terbaru : bukan hanya Profesor Manda yang hilang, tapi juga Profesor wali kelas lain yaitu, Profesor Dindin dan Profesor Mackenyu!"

Lagi. Ruangan fisika itu gentar.

Aku menatap gadis berambut jingga itu. Dia mengatakan yang sejujurnya. Dia benar-benar melihat kejadiannya.

"Apa maksudmu menghilang?" tanya Ito khawatir.

"Tidak ada tanda-tanda. Menghilang seperti di telan bumi. Supervisor sudah menyelesaikan pencarian di gedung ini dan tidak menemukan satupun jejak mereka. Karena yang lainnya sibuk mengurus jenazah Tuan Alvonso, banyak yang tidak menyadari kalau 3 profesor wali sudah tidak ada di tempatnya sejak upacara. Ada anak yang melapor kalau mereka tidak melihat wali mereka setelah kejadian itu dan setelah diselidiki ketiganya tidak ada dimana-mana," papar siswi bernama, Gardena itu.

"Jenazah Tuan Alvonso? Maksudnya..." Nancy tak tahu harus mengatakan apa. Bibirnya bergetar.

"Baru saja diumumkan, Tuan Alvonso sudah meninggal dunia."

APA!? Badanku mendadak lemas. Nafasku tak seiras. Detak jantungku seperti kehilangan ritmenya. Bohong, bohong, bohong, bohong—kata itu terus bergema di kepalaku. Aku mencoba bangun dari mimpi ini tapi rasanya terlalu nyata sampai sulit untuk bernafas.

Aku melirik ke samping. Paul menangis, dia tak menyembunyikan air matanya. Aron menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Ito menangis di pundak Neville, sesenggukan.

Sekujur tubuhku mati rasa.

Sekilas aku melihat gadis rambut jingga. Dia kelihatan dingin. Ekspresinya datar seperti saat aku melihatnya pertama kali. Mungkin karena ini hari pertamanya di sekolah ini dia belum tahu seberapa kuat pengaruh Tuan Alvonso dan tidak ada satupun kenangan tentang beliau di benaknya. Dia satu-satunya orang di ruangan ini yang tidak merasakan apapun.

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang