Ruang Klub Fisika

3 0 0
                                    

Hari pertama semester kedua jauh berbeda dari ekspektasi. Upacara langsung dibubarkan, murid-murid dikembalikan ke kamar asrama masing-masing. Dengan hati gundah gulana dan syok, asrama yang harusnya penuh hiruk pikuk menjadi hening.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Itulah kalimat pertama Paul sejak kejadian beberapa menit yang lalu. Kami tengah berada di kamar asrama saat ini. Setiap kamar berisikan 5 siswa, laki-laki dan perempuan dipisah. Mereka berada di gedung seberang. Di kamar lantai 3, tepatnya lantai paling atas nomor 10, diisi oleh aku, Paul, Aron, Neville dan Ito. Kami sudah menjadi roomate sekitar 1 tahun. Kami sudah mengenal karakter masing-masing dengan baik.

"Semua terjadi begitu cepat," komentar Ito dengan tatapan kosong. Ia duduk di ranjang atas, kepalanya tertunduk, tangannya lemas tergeletak di seprai.

"Apakah beliau.. Tuan Alvonso.. benar-benar.." Paul tak sanggup meneruskan pertanyaannya.

"Mati?" sambung Neville.

Kami semua saling bertatapan.

Aku menggeleng keras-keras, mencoba menghapuskan adegan upacara beberapa saat yang lalu dari kepalaku, seolah itu tidak pernah terjadi.

Aku melihat Aron tak banyak bereaksi sejak tadi. Ia terlihat... santai di situasi yang runyam ini. Tangannya diselipkan di saku celana. Matanya lurus menatap lantai. Aku tahu dia sedang berpikir keras.

Selama beberapa menit tidak ada yang berbicara diantara kami meski di dalam jaringan otak kami semua berlayar bermacam-macam pertanyaan buta haluan.

"Ngomong-ngomong, apakah ada kabar dari Profesor Manda?" tanya Aron memecah kesunyian.

"Tadi ada yang bilang di tengah hymne ia permisi ke kamar kecil," jawab Neville.

"Tapi aku masih melihatnya saat hymne, aku tidak melihatnya lagi saat pidato," sahut Paul.

"Aku sama sekali tidak memperhatikan dia," kata Ito.

Ini memang aneh. Di saat-saat seperti ini, Profesor Manda justru tidak ada di tempat, seharusnya dia kan selalu sedia di sebelah kami karena dia wali kelasnya.

Kenapa perginya profesor gendut itu? Dan siapa yang menggeser pintu aula tadi? Memikirkan kejadian barusan, bisa saja itu salah satu anak murid atau guru di dalam aula yang keluar untuk memanggil bantuan atau refleks panik. Banyak kemungkinan tentang siapa saja yang melewati pintu itu. Terlebih aku hanya melihatnya satu kali, bisa jadi sebelumnya pintu itu sudah dilewati oleh banyak orang karena ada orang lain di luar aula, contohnya penjaga, pengawas dan supervisor asrama—petugas bersih-bersih. Kalau hanya mengandalkan petunjuk dari pintu aula yang bergeser itu tak ada gunanya.

Justru petunjuk sebenar-benarnya adalah surat peringatan itu. Tapi apakah ini kebetulan? Ataukah perencanaan? Kalau memang si pengirim surat itu tahu apa yang akan terjadi di sekolah, berarti kemungkinan bahwa si pengirim surat adalah dalangnya atau antek si dalang sangat tinggi.

Tapi kalau pembunuhnya sosok dari luar area sekolah itu berarti mereka melewati penjagaan depan, bukan? Bagaimana mereka melewatinya? Apakah dengan penyamaran? Dan kalau suara desingan itu berasal dari pistol pasti langsung dapat dilacak sumber suaranya karena aula kala itu sedang hening, semua orang fokus pada pidato Tuan Alvonso. Meski ada ratusan siswa disana bersama profesor, apakah tidak mungkin mengenali sumber suara pistol, toh, itu hanya berasal dari satu arah, kecuali bila tembakannya datang dari segala penjuru, jelas akan lebih sulit. Bagaimana mereka tidak menyadarinya? Dan malah membuatnya semakin kacau dengan berteriak histeris.

Tapi itu mungkin terjadi jika.. jika.. pelakunya lebih dari 1 orang! Ada kelompok! Sekelompok orang yang masuk ke sekolah ini dengan skenario terbaik yaitu memecah suasana menjadi tidak terkontrol dan membuat semua orang tidak fokus pada pelaku namun justru menaruh perhatian 100 persen pada korban. Itu bisa dilakukan jika orang yang menyamar berada di berbagai titik, tidak hanya berkerumun di satu posisi. Ya! Jelas! Pelakunya lebih dari 1 orang dan mereka berkeliaran di sekolah ini. Siapakah??

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang