Sepucuk Surat

13 0 0
                                    

Surat baru mendarat di kotak pos motel pagi ini. Bibi janda pemilik motel memberikannya pada Aron sebelum menaruhnya dibawah kasurku lalu pergi entah kemana.

Minggu ini sudah ada 3 surat yang kuterima. Surat pertama dari pihak sekolah yang mengumumkan semseter baru akan segera dimulai dan seluruh siswa terdaftar harus menyiapkan bla bla bla. Yang kedua, datang dari orang tua-ku di Land Pittersburgh, kota kecil yang masih menggunakan kuda sebagai kendaraan alih-alih motor dan mobil, mereka mencemaskanku yang tak pulang di liburan kali ini. Yang kemudian dalam surat balasannya aku menjawab, aku harus menemani temanku, Aron yang tak punya tujuan pulang.

Dan surat ketiga adalah surat yang datang pagi ini. Amplop putih, berkerut dan lecek. Aku menghirup baunya. Yang jujur saja tak berarti apapun. Hanya kebiasaan.

Nama pengirim tak tercantum di muka amplop. Hanya nama penerima. Namaku, Leo West, beserta alamat motel ini. Aku sedikit terkejut mendapati surat baru, mengingat hanya pihak sekolah dan keluargaku saja yang mengetahui tempatku tinggal untuk saat ini.

Tidak mungkin ini dari pihak sekolah karena bentuk suratnya yang sama sekali tak menunjukkan formalitas. Kecuali kalau redaktur sekolah sudah berubah, mewajibkan surat penghantar murid dimasukkan dalam amplop lecek tanpa cap sekolah dan alamat resmi. Tidak masuk akal sama sekali.

Dan ini juga tak mungkin berasal dari orang tuaku. Selain tanpa alamat pengirim yang tidak seperti surat biasanya, amplopnya juga berbeda. Ibuku lebih sering menaruh surat ke dalam amplop cokelat muda dan dalam keadaan rapi. Seingatku tidak pernah dia mengirimkanku sebuah amplop putih.

Jadi, dari siapa?

Dilihat dari betapa tergesa-gesanya surat ini disusun, tampak dari kerutan amplopnya, pastilah orang ini ingin sesegera mungkin surat ini sampai ke tanganku. Dan orangnya pasti tidak telaten atau ini kali pertamanya mengirim surat karena tata caranya yang tidak sistematis. Tanpa prangko, alamat, nama pengirim, banyak kekurangan di suratnya tapi anehnya sampai.

Apakah ini surat cinta?

Aku membuka amplopnya. Sepucuk kertas robekan, berukuran memo agenda. Berbunyi :

JANGAN PERGI KE SEKOLAH!!!!

Semuanya ditulis besar-besar dengan pena berwarna merah. Hanya 4 kata itu. "Jangan pergi ke sekolah". Isinya terasa seperti ancaman, peringatan atau sekedar gertakan.

Kuamati lekat-lekat sepucuk surat itu, siapa tahu ada petunjuk disana tapi tak kutemukan apapun selain tulisan merah menyala. Jelas si pengirim tegas memperingatkanku untuk tidak pergi ke sekolah.

Entah apa yang akan terjadi di sekolah, aku tak mengambil pusing isi pesan. Kuselipkan suratnya di kantung ranselku dan mulai mengemasi buku. Besok semseter baru sudah dimulai. Besok aku akan pergi ke sekolah, tanpa peduli apa yang akan terjadi.

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang