Begin

1 0 0
                                    

Aku hanyalah anak dari pasangan petani sukses yang memiliki berhektar-hektar lahan pertanian di sebuah pedesaan bernama Pittersburgh. Sejak kecil, aku suka belajar. Aku suka sekolah dan bermain bersama teman-teman sebaya. Kedua orangtuaku tidak pernah menuntutku untuk menjadi sesuatu yang mereka kehendaki, mereka menuntunku untuk menjadi diriku yang sesuai keinginanku, asal itu yang terbaik.

Ayah dan ibuku keluarga yang simpel. Jika ada peluang maka mereka akan menggunakannya, dan bila tidak ada, mereka akan mencarinya. Keduanya tidak pernah terlibat masalah dengan siapapun. Orangtuaku hidup tenang, jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan, jauh dari arus deras globalisasi.

Orang yang bekerja untuk keluargaku sering bilang bahwa aku anak yang beruntung. Terlahir mumpuni dan cerdas, mempunyai orang tua yang mendukung seratus persen keputusanku dan hidup sebatang kara tanpa saudara.

Ayah dan ibuku hanya punya aku. Jauh sebelum sukses, saat masih meniti karir sebagai petani suruhan di rumah tuan tanah yang dipuja-puja seluruh desa, ayah dan ibuku mempunyai anak yang lebih dulu lahir sebelum aku. Itu 4 tahun lebih tua dariku. Dia perempuan.

Mereka memberinya nama, Lyana West. Ibu bilang matanya mirip mataku, tapi hidungnya tidak mancung seperti aku. Kulitnya selembut susu dan rambutnya hitam legam, pasti menyontoh ayah. Mereka merawat Lyana, membesarkannya dan mencintainya tapi kehidupan seperti tidak sejalan dengan cinta mereka kepada Lyana.

7 bulan setelah lahir ke dunia, Lyana meninggal karena kurang asupan gizi. Meski ayah sudah banting tulang berkali-kali lipat dari biasanya, itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang bayi seumur jagung. Ibu sempat mengalami depresi setelah kepergian Lyana dan ayah beberapa minggu mogok kerja karena terlalu larut dalam kesedihan.

Mereka hampir menemui akhir hidup mereka jika tetangga dekat yang sekarang sudah pindah ke kota besar menjadi jurnalis koran yang menikahi putri seorang penjahit, bernama, Yaman, tidak membantu ayahku menemukan pekerjaan baru. Tuan Yaman menawarkan bisnis kecil, mengelola lahan bekas kebakaran hutan yang sudah disita negara menjadi lahan pertanian baru. Ia sudah mengajak belasan orang untuk mewujudkan pekerjaan itu tapi tidak ada yang mengindahkan penawarannya. Ayah jadi orang pertama dan satu-satunya yang mengiyakan tawarannya.

Berselang 2 tahun, pekerjaan mereka sukses. Lahan itu berubah menjadi lahan pekerjaan yang menyokong kehidupan tidak hanya ayah, tapi juga 10 pekerja yang setiap hari datang mengurusinya. Tuan Yaman pindah ke kota besar setelah menabung cukup banyak uang. Ia meminang putri penjahit yang adalah cinta pertamanya dan menghabiskan hidupnya dengan sang istri. Ayah masih bertukar surat dengannya, tapi belum pernah membuat pertemuan setelah hampir 20 tahun tidak melihat wajah masing-masing. Ayah berkata, kalau saat itu dia tidak mengetuk pintu rumahku dan menawarkanku ide gila itu, aku dan ibumu mungkin tidak akan pernah melihatmu ke dunia ini.

Ayah juga bilang, setelah kepergian Lyana, ia tidak lagi punya harapan untuk mempunyai anak. Ia takut hal yang serupa akan terulang jika kondisinya tidak mengalami perubahan. Namun pemikirannya soal itu berubah ketika orang-orang mulai melamar pekerjaan padanya. Dan semua itu berkat Yaman. Yaman adalah penyambung hidupnya.

Saat aku bilang aku ingin pergi merantau ke pusat kota Jerman untuk mengemban ilmu di sekolah negeri bernama, St. Agustine yang reputasinya terdengar sampai ke kampungku, orang tuaku butuh 2 minggu untuk menyetujuinya. Ibuku yang lebih emosional, nampaknya tidak setuju dnegan keputusanku dan mencoba membujukku untuk mencari sekolah yang lebih dekat. Tapi aku menolaknya. Usiaku sudah 17 tahun dan aku ingin melihat sisi dunia yang lebih luas lagi. Tidak hanya pada seputaran sapi, kambing, kerbau dan ayam.

Meski berat melepasku, sama halnya denganku yang berat jauh dari mereka, pada akhirnya keputusan diambil. Tekadku bulat untuk menuntut ilmu dan mencari pekerjaan yang pantas. Tidak setitik pun terpikrikan olehku untuk mencari pacar, bolos, liburan, berpesta atau lainnya. Aku terbang jauh sampai ke kota di Jerman hanya untuk membuktikan pada orang tuaku bahwa mereka tidak salah mengizinkanku merantau.

Semester pertama berjalan seperti yang kuharapkan. Aku mengirim nilai hasil tesku setiap minggu pada orang tuaku dan bertukar surat dengan mereka sesering mungkin. Namun, ini sudah 2 minggu sejak surat terakhir mereka yang belum kubalas hingga sekarang. Aku bingung harus menulis apa di surat. Apakah harus kukatakan bahwa aku melarikan diri dari sekolah bersama seorang gadis asing untuk mencari kebenaran? Huh, sangat tidak masuk akal. Untuk saat ini, hanya untuk saat ini, aku akan membuang jauh-jauh ide untuk mengirim surat ke orang tuaku karena waktunay tidak tepat. Tapi setelah semuanya, setidaknya mereda dan membaik, aku akan mengatakan kebenarannya. Secepat mungkin.

***

"Ngun... ngun.. Bangun.. Bangun.. Bangun, pecundang!" semprit Illa. Dia berdiri di mulut pintu kamarku, berkacak pinggang. Rambutnya dibuntel handuk. Ia baru selesai mandi.

"Kau punya waktu 10 menit untuk bersiap-siap, setelah itu kita langsung ke stasiun."

Aku mengcek jam tangan dengan malas. Masih setengah sadar. "Ini masih jam 6 pagi. Kereta beroperasi pukul 8."

"Kita harus cepat, kalau tidak ingin dikuntit. Sepertinya kita meninggalkan jejak tadi malam, pihak sekolah cepat atau lambat akan mengejar kita. Kita harus bergegas."

"Tapi—" BAM! Ia menutup pintu kamarku.

Dasar gadis tidak sabaran.

Aku selesai mandi dan membereskan barang-barang tepat pukul 6 lewat 33 menit. Suara burung ber cip-cip-cip terdengar sampai ke dalam kamarku. Dari jendelaku, aku bisa melihat pemandangan gunung dan kabut yag menutupinya, ini pemandangan yang tidak bisa kudapatkan saat di sekolah karena sekeliling bangunan sekolah ditutupi tembok besar nan tinggi.

Aku menghembuskan nafas. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Kembali memikirkan tentang keputusanku, tentang Aron dan tentang Paul yang sendirian di sekolah.

TOK! TOK! TOK!

Illa mengetuk pintu kamarku dengan keras. "Cepatlah, siput. Kutunggu di bawah dalam 5 menit atau kutinggal!" Dia menampar pintu dengan keras, lalu menuruni tangga dengan suara sepatu yang berisik.

Dasar gadis tidak sabaran!

Saat aku berjalan ke arahnya yang kelihatan sudah sangat siap menghujaniku dengan ocehan soal keterlambatan, aku tiba-tiba terpikir apa yang akan terjadi di antara kami di sela-sela perjalanan nanti. Jujur saja ini pasti akan jadi perjalanan yang tidak menyenangkan kalau dilakukan bersama seorang gadis pemarah, sok disiplin dan pendiam sepertinya. Kalau bukan untuk Aron, aku pasti sudah meninggalkannya malam itu, membiarkannya pergi sendiri di tengah malam. Tapi karena kita membahas sahabatku yang sedang dalam masalah besar, aku tidak punya pilihan. Lagipula dari kata-katanya dia tampak menjanjikan. Dan dari gerak-geriknya sejak awal, aku tahu dia punya niat terselubung yang aku sangat ingin tahu. Dan dengan mengikutinya akan menuntunku pada jawaban.

"Kau tidak bisa diajak cepat rupanya, huh? Kau sengaja melakukannya, siput? Agar kita tertangkap oleh sekolah? Kau ingin menjebakku?" berang Illa. Seperti dugaanku.

"Oh, ayolah. Kalau ada yang ingin menjebak sekarang, kaulah yang paling berpotensi untuk itu. Aku mengikuti perintahmu sejak tadi malam, kau tahu."

"Aku memerintahkanmu untuk cepat tapi kau tidak melakukannya."

Aku menaikkan alis. Merasa gusar.

Illa membuang muka dan beranjak pergi. Aku bisa melihat punggung angkuh gadis itu, gadis yang selama ini kutebak adalah gadis polos, pendiam dan ramah. Ternyata dia hanyalah gadis pemaksa, pengatur dan cerewet. Seperti apa perjalanan yang ada di depan mata kami? Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya!

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang