Kereta Api

1 0 0
                                    

POV : Leo

Illa sudah menggenggam 2 karcis kereta api menuju bagian barat daya kota. Sudah 10 menit sejak pintu masuk stasiun dibuka. Antrian yang mulanya hanya diisi satu-dua orang perlahan menjadi padat dan semakin padat.

"Pakai ini," Illa menyerahkan masker kain berwarna hitam kepadaku.

"Untuk jaga-jaga apabila ada yang menguntit kita. Kita harus sewaspada mungkin agar perjalanan ini lancar."

Aku mengangguk setuju. Bagaimanapun, tidak ada satu pun dari kami yang rela tertangkap dan mendapat sanksi.

"Sebisa mungkin hindari kontak mata dengan orang asing, jangan bicara kecuali mendesak, dan bersikaplah yang wajar!" pungkas gadis itu.

"Huh," sahutku. Seseorang mulai mendominasi posisi dan berlagak seperti kapten. Dia perempuan tapi sangat pengatur. Sejujurnya itu membuat harga diriku terganggu karena aku disini yang justru harus mematuhinya dan bukansebaliknya. Aku belum pernah berada di posisi dimana semua tingkah laku diatur oleh teman sebaya, sebelumnya, saat bersama Aron, Paul, atau saat ketika aku dengan teman sekelas lainnya melaksanakan kerja kelompok, akulah yang sering memegang komando, memberi instruksi sampai solusi sekaligus menjaga keseimbangan antar sesama. Tapi saat ini, posisi itu seketika hilang. Aku kelihatan seperti bayi yang harus dituntun dengan stroller.

Pengumuman di stasiun yang digaungkan lewat corong pengeras suara memberitahu kami, kereta menuju arah barat daya akan bergerak 5 menit lagi, para penumpang kereta jalur ini harap membuat antrian dan segera masuk.

Aku dan Illa mengantri bersama kerumunan pria tua, wanita paruh baya, karyawan, nelayan, ibu dan 2 anak, pengangguran, pelancong sampai waria. Banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda mengisi 3 kelas gerbong kereta api menuju barat daya.

Kelas eksekutif jelas diisi oleh mereka yang berbalut jas, membawa tas kantoran dan mengenakan sepatu pantofel mengkilap. Kelas bisnis diisi oleh pria dan wanita paruh baya yang masih nampak rapi dengan pakaian yang mereka gunakan saat ini sedangkan kelas ekonomi, yang letaknya di gerbong terujung tidak lain diisi oleh tunawisma, waria dan pelancong.

Aku dan Illa memesan bangku di kelas bisnis. Illa menyimpan cukup uang untuk membeli 2 tiket kelas bisnis dan masih tersisa banyak untuk melanjutkan perjalanan. Dia bilang, akan merepotkan berada satu gerbong dengan orang-orang yang banyak bicara. Kita harus berada di kelas yang terjangkau tapi aman.

Saat sudah menemukan bangku, Illa sontak mengambil bangku di sisi jendela. Aku duduk di hadapannya. Posisi bangku dibuat berhadap-hadapan. Ada 6 baris di kiri dan kanan. Di tepi masing-maisng bangku terdapat jendela kecil yang mengarah langsung ke pemandangan di luar. Di kelas ini sudah tersedia air conditioner, toilet pria dan wanita terpisah, kabin di atas kepala dan bantal sandaran. Bangkunya lumayan empuk. Bagiku ini sudah sangat nyaman.

Kereta bergerak setelah beberapa kali pengumuman beruntun dikumandangkan melalui pengeras suara internal oleh masinis. Ketika kereta melaju, aku tersadar, benar-benar tersadar, aku melakukan perjalanan ini.

Tidak pernah sekalipun terbersit di pikiranku akan meninggalkan sekolah dalam keadaan tidak resmi seperti melarikan diri/kabur, tapi disini, duduk di kereta api kelas bisnis menuju tempat yang tidak kuketahui sama sekali bersama gadis yang baru kukenal sehari, aku harus meyakinkan diriku berkali-kali bahwa aku benar-benar melakukannya!

Illa mengeluarkan buku komik dari tasnya yang sedari tadi ia tenteng. Sedangkan aku, tak henti-henti melihat keluar jendela, mengangumi hamparan rumput hijau dan langit pagi.

Seorang pria tua yang duduk di balik bangku Illa, berdiri. Ia memungut tas di bawah kakinya dan berpindah tempat ke sampingku.

"Aku boleh disini kan? Wanita disebelahku merokok," bisiknya padaku dengan gestur tangan mengibas-ngibas.

l'avenirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang