بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tak ada lagi yang bisa kuharapkan, semuanya sudah terkuak dan terbongkar ke permukaan."
Jika bisa memilih, bolehkah aku meminta untuk dilahirkan dari rahim wanita lain saja? Bukan tak ingin memiliki ibu seperti Umi, melainkan cara yang ditempuh oleh kedua orang tuaku tak bisa diampuni. Aku sudah cukup pusing memikirkan banyak hal, belum lagi ditambah dengan masalah ini, rasanya kepalaku ingin pecah dan terbelah.
"Na, jangan bengong terus dong, kita liat keadaan Umi yuk," ajak Ziah lembut yang justru membuat rahangku mengeras tak terkendali.
Kala mendengar nama itu entah mengapa hatiku menjerit tak suka, bayangan akan kejadian kemarin malam sangat amat menggangu pikiran.
"Buat apa lagi? Mereka bukan siapa-siapa aku!" Dengan sekuat tenaga aku menahan gejolak dalam dada, belum lagi air mata yang sudah mendesak meminta untuk segera diluncurkan.
Ziah membawa tanganku dalam genggaman, memberikan sedikit sunggingan. "Mereka tetap keluarga kamu, Umi ya akan tetap jadi ibu kamu, begitu pun dengan Ab—"
"Abi bukan siapa-siapa aku, dia hanya sebatas suami Umi!" potongku cepat dan tegas.
Ziah memejamkan mata sejenak dan berujar, "Aku tahu kamu kecewa, tapi jangan sampai seperti ini juga. Ini takdir Allah, kita gak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa, dengan cara seperti apa. Cukup jalani apa yang sudah Allah gariskan, kamu harus yakin kalau ini yang terbaik."
"Terbaik kamu bilang? Ini mimpi buruk, Zi!" Dia menggeleng keras.
"Nisrina yang aku kenal sangat berbakti pada kedua orang tuanya, bukan seperti sekarang. Tenangkan hati kamu, istigfar memohon ampunan sama Allah. Umi butuh doa dari anak shalihah seperti kamu," tuturnya masih dengan suara rendah penuh ketenangan.
"Doa aku ngambang di udara, gak bakal Allah ijabah, bahkan kalaupun nanti aku mati surga gak akan pernah sudi untuk menampungku. Shalihah? Kata itu bukan ditujukan untukku. Aku ini wanita kotor, hina!"
Ziah memelukku, dia seperti ingin memberikan kekuatan dan dukungan bahwa yang saat ini menimpaku tidak akan bertahan lama. Tapi aku tak bisa menutup mata dan telinga akan kenyataan pahit ini. Aku sudah kehilangan arah tujuan, hidupku sudah tidak jelas.
"Kamu jangan ngomong gitu," lirihnya dengan suara bergetar, seperti menahan tangis.
"Teh." Aku menegang bukan main saat mendengar suara Saras tepat berada di belakangku. Dengan ragu aku pun mencoba untuk melepaskan pelukan dan beralih fokus padanya.
"Umi kritis, Teh, butuh banyak darah. Cuma golongan darah Teteh yang sama kaya Umi," katanya terisak, bahkan perempuan yang tengah menyusui itu beberapa kali menghapus kasar air matanya. Aku memejamkan netra sejenak, menahan sedikit rasa ngilu yang datang tanpa diminta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tapi Diam Series 1 || END
SpiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP Diam dan memendam adalah kegiatan yang sangat amat identik dengan perempuan. Bukan bermaksud mempermainkan ataupun tak memiliki keberanian, hanya ingin merahasiakan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi bukankah itu...