بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Biarkan mereka berkelana dengan perempuan di luar sana, dan aku akan lebih senang jika suatu saat nanti menerima sebuah undangan bertuliskan nama mereka dengan jodohnya masing-masing."
Tiga hari selepas kepulangan Umi, aku dikejutkan dengan kehadiran Naresh dan juga Om Anwar yang tengah terlibat perbincangan dengan kedua orang tuaku di ruang tamu. Ada sedikit gejolak rasa penasaran yang menyusup dan mulai naik ke permukaan. Namun sebisa mungkin kutahan, dan lebih memilih untuk kembali ke kamar. Menguping bukanlah hal yang dibenarkan, dan kurasa itu termasuk dalam kategori perilaku tercela.
Dugaanku paling mereka membahas perihal kecelakaan yang menimpa Umi, ya seperti yang sudah kuketahui beberapa hari lalu bahwa ternyata Tante Sukmalah dalangnya. Meskipun tak ada unsur kesengajaan dan murni sebuah kecelakaan, tapi tetap saja hal itu perlu untuk diluruskan. Selama ini aku memilih bungkam, bukan karena ingin merahasiakan kebenaran, hanya saja aku ingin mereka sendiri yang mengaku di hadapan Umi dan Abi. Itu bukanlah ranahku lagi.
Lagi pula aku pun sedang mencoba untuk mengikhlaskan hati, menata diri, dan menjalani hidup dengan segala kondisi dan situasi baru ini. Perihal masalah Pak Bagas, Umi dan Abi pun sudah menyetujui. Tak ada paksaan sedikit pun untuk aku kembali menarik perkataan yang sudah kulayangkan. Mereka mencoba untuk memahami, dan tak lagi ingin terlalu ikut campur akan masalah jodoh yang untuk saat ini belum kupikirkan lagi.
Suara ketukan pintu membuyarkan segala lamunanku dan dengan segera berjalan untuk membukakan akses masuk. Di sana Umi berdiri dengan senyum mengembang, tanpa kata beliau memasuki kamarku. Mendudukkan tubuh di tepi ranjang, dan beliau memintaku untuk bergabung dengannya, aku pun menurut patuh.
"Nak Naresh ingin bertemu dengan kamu," ungkapnya yang kusambut kernyitan bingung. Untuk apa? Kurasa di antara aku dan dirinya sudah tak ada lagi hal yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah tuntas dan jelas.
"Buat apa?" tanyaku heran.
Umi mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Ya mana Umi tahu, mungkin ada sesuatu yang penting," jawabnya menduga-duga.
"Ya udah deh, tapi Umi temenin yah," putusku yang malah beliau balas kekehan.
"Nak Naresh gak bakal ngapa-ngapain kamu, lagi pula Umi, Abi, dan Om Anwar masih ada perbincangan yang harus kami selesaikan," katanya yang membuatku harus menghela napas berat.
"Apa ada sangkut pautnya sama kecelakaan yang menimpa Umi?" selorohku yang langsung dihadiahi anggukan singkat.
"Umi sama Abi berniat untuk memperkarakan kasus ini ke polisi?" Beliau menggeleng cepat, dan hal itu malah membuatku bingung tak ketulungan.
"Terus?"
Umi malah bangkit dari duduknya. "Yuk, kasian Nak Naresh udah nunggu kamu," ajaknya yang tanpa menghiraukan pertanyaanku sedikit pun, dan mau tak mau aku pun mengikuti titah beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tapi Diam Series 1 || END
SpiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP Diam dan memendam adalah kegiatan yang sangat amat identik dengan perempuan. Bukan bermaksud mempermainkan ataupun tak memiliki keberanian, hanya ingin merahasiakan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi bukankah itu...