23 | Rasa Yang Tak Pantas

1.7K 232 60
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Aku merasa tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perempuan itu, pantas saja dia lebih memilih mundur. Toh kualitas perempuannya jauh lebih menjual."

Aku berdiri kaku dengan tangan memegang gagang pintu, menilik dengan saksama postur tubuh seseorang yang tengah mematung membelakangiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berdiri kaku dengan tangan memegang gagang pintu, menilik dengan saksama postur tubuh seseorang yang tengah mematung membelakangiku. Deru napasku memburu tatkala menyadari bahwa seseorang itu adalah ...

"Ada kepentingan apa Bapak kemari?" tanyaku to the point, sedangkan lelaki yang merupakan atasanku itu hanya melirik sekilas saja.

"Menjemput kamu," jawabnya dengan gaya andalan, jangan lupakan juga kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana.

"Bapak gila yah, ini tuh udah malem. Gak sopan banget malem-malem ke rumah orang, mau ngerampok apa namu!" sahutku tak santai.

Kesal rasanya menghadapi Pak Bagas, bukankah dia sudah mengatakan akan mundur? Tapi kenapa sekarang malah kembali merecoki hidupku lagi. Sungguh sangat kurang kerjaan sekali beliau itu.

"Ya sudah kalau memang kamu tak ingin melihat ibu kamu yang sudah sadarkan diri. Saya akan pergi," katanya yang membuat lututku lemas bukan main. Apa tadi katanya? Umi sudah sadarkan diri?

Seharian ini aku tak mengunjungi rumah sakit, karena memang tengah ada Riska di sana. Untuk meminimalisir kericuhan, jadi mau tak mau aku yang mengalah saja. Meskipun rasa rindu pada Umi sudah berada di ubun-ubun, tapi sebisa mungkin sedikit kuenyahkan.

Belum lagi aku harus mendekam di rumah hanya seorang diri saja. Saras tadi dijemput Mirza untuk pulang, karena anaknya yang rewel dan sedikit kurang sehat. Abi pun berada di rumah sakit bersama Riska, sedangkan Ziah pulang ke rumah suaminya.

"Ba ... Ba ... Bapak serius, kan? Gak lagi ngibulin saya?" selorohku terbata-bata. Aku tidak salah mendengar, kan? Ini benar-benar nyata dan bukan khayalanku saja.

Helaan napas terdengar keluar dari sela bibirnya. "Apa tampang saya seperti seorang pendusta?"

Aku diam beberapa saat, dan menatap sekilas ke arah Pak Bagas dengan air muka datar seperti biasa. Aku meneguk ludah dengan susah payah saat netra ini bertemu pandang dengannya, hanya sesaat, mungkin satu atau dua detik saja. Tapi dampaknya berhasil membuat gejolak dalam dada berdesir dengan begitu hebatnya.

Dengan segera kulangitkan lantunan istigfar, mataku sudah berani berzina, menatap seseorang yang tidaklah halal untuk kupandang. Bahkan hatiku pun sudah berani mendua, dan berbuat hal gila di luar kendali. Aku tak mungkin melabuhkan hati padanya. Jangan sampai hal itu terjadi.

"Sudah?"

Keningku berkerut bingung, tak mengerti akan kalimat tanya yang baru saja beliau lontarkan. Otakku tak bisa diajak untuk berpikir dengan jernih, setan sudah merasuki segala isi kepalaku agar terus melakukan hal yang Allah tidak sukai.

Cinta Tapi Diam Series 1 || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang