بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
"Jika jodohku tak kunjung datang cukuplah doa yang menjadi pengantar, karena dia tahu ke mana harus pulang."
Aku terkesiap saat netra ini bertemu pandang dengan seseorang yang tak ingin kulihat batang hidungnya. Dengan kecepatan kilat aku segera menghindar dan mengayunkan kedua tungkai untuk berjalan lebih cepat. Suara teriakan yang berasal dari arah belakang sama sekali tak kuhiraukan. Aku tak suka dia kembali ada dalam lingkaran hidupku. Sudah cukup dengan semua kesakitan dan rasa malu yang telah dia berikan padaku dan juga keluarga besarku. Aku tak sudi jika harus kembali terlibat pembicaraan dengannya.
"Lepas! Kita bukan mahram, Mas." Aku meradang saat mendapati tangannya yang menyentuh pergelangan tanganku lumayan kencang.
Dia tertawa dengan intonasi merendahkan. Dasar laki-laki gila kurang ajar. "Sok suci banget kamu jadi perempuan!"
Dengan entengnya dia menghinaku seperti itu. Cengkeramannya dia lepaskan begitu saja, rasa sakit sedikit kurasakan akibat ulah lancang lelaki itu.
"Jaga ucapan kamu!" sengitku dengan jari menunjuk tepat ke bola matanya.
Dia melempari wajahku dengan sebuah undangan yang entah sejak kapan dia pegang. "Jangan lupa datang. Bawa pasangan juga sekalian!" Setelahnya dia berlalu begitu saja.
Aku mengepalkan kedua tangan erat-erat dan menatap nyalang undangan berwarna gold yang sudah tergeletak di lantai. Tanpa pikir panjang kakiku langsung menginjak benda tersebut hingga hancur berantakan. Aku tak sudi jika harus menghadiri pesta pernikahan mantan calon suamiku itu.
Ya, dia hanya mantan yang sekelebat datang lalu pergi tanpa pamit pemberitaan. Kehadirannya hanya untuk membagi luka dan derita yang tak berkesudahan. Jangan lupakan rasa malu yang dia persembahkan tepat di hari pernikahan. Dengan tanpa dosa dia pergi begitu saja, saat beberapa menit akad akan dilangsungkan. Rasa sakit akan kenangan pahit itu kian terbayang.
Di mana dia beserta keluarga besarnya datang melamar, lantas satu bulan berikutnya pernikahan akan digelar. Hari yang sangat kunanti-nantikan itu harus bubar jalan karena dia yang memutuskan sepihak atas batalnya pernikahan. Aku tak tahu apa yang menyebabkan dia mundur, karena memang aku tak diizinkan untuk duduk berdampingan dengannya. Akad belum terucap dan dia belumlah halal untukku. Entah apa yang terjadi waktu itu. Yang jelas setelahnya terjadi kekacauan dan sedikit terlibat baku hantam di antara keluarga dia dengan keluargaku.
Dulu aku sangat terpukul dan terpuruk karena kegagalan itu. Tapi sekarang aku bersyukur, karena Allah telah menunjukkan laki-laki seperti apa dia sebenarnya. Dia tak layak untuk kujadikan sebagai pendamping dan imam pilihan. Dari perangainya saja tak mampu berlaku baik dan sopan pada perempuan, bahkan bibirnya begitu ringan mengutarakan hinaan, belum lagi tangannya yang juga begitu mudah menjamah sesuatu yang tak seharusnya dia pegang. Allah masih melindungiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tapi Diam Series 1 || END
EspiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP Diam dan memendam adalah kegiatan yang sangat amat identik dengan perempuan. Bukan bermaksud mempermainkan ataupun tak memiliki keberanian, hanya ingin merahasiakan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi bukankah itu...