بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jangankan untuk mencintai, hanya untuk sekedar menaruh hati saja aku tak memiliki nyali."
Tiga bulan berselang ...
Diam bukan berarti tak berjuang, diam bukan berarti tak memiliki keberanian, hanya saja itu memang sudah menjadi pilihan. Untuk apa diungkapkan jika akhirnya hanya mengundang kesakitan, lebih baik dipendam dan biarkan ribuan bait doa yang berkoar-koar.
Jodoh pasti bertemu, entah itu bersanding bersama di pelaminan atau hanya sekedar jadi tamu undangan. Yang pertama jelas sangat membahagiakan, tapi yang kedua jelas sangat menyesakan. Tapi tak apa, itu berarti dia memang bukan jodoh yang sudah Allah persiapkan.
Perkara jodoh itu sangat simpel, yang membuatnya terlihat ribet adalah diri kita sendiri. Terlalu mengagungkan kata cinta pada sesama hamba namun lupa memperjuangkan cinta pada Sang Maha Pencipta. Bukankah itu suatu kebodohan yang tak bisa ditoleransi?
Cinta pada Sang Maha Pencipta saja dilupakan begitu saja, apalagi hanya sekadar cinta pada sesama manusia. Kita itu terlalu dibutakan oleh keindahan dunia yang fana, hingga lupa akan kehidupan akhirat yang jauh lebih dari segalanya.
Terlalu berpatok pada pasangan hingga lupa akan kematian, padahal yang jauh lebih menjanjikan adalah ajal. Dinikahkan dengan Malaikat Maut. Terdengar mengerikan bukan? Oleh sebab itulah kita harus mempersiapkan diri.
"Na." Panggilan itu membuyarkan segala lamunanku, dan dengan segera aku pun mengambil tas selempang yang sudah kusiapkan di atas pembaringan.
"Sabar, Zi acaranya juga masih lama," protesku saat sudah menutup pintu kamar.
Ziah memutar bola mata malas sebagai tanggapan. "Mending datang lebih awal daripada telat," selanya dengan intonasi suara tak santai.
Aku dan Ziah akan pergi ke suatu tempat, tidak hanya berdua saja melainkan ada Zaki juga yang selalu siap antar jaga ke mana pun istrinya pergi. Semenjak keguguran Ziah, dia semakin protektif, dan membatasi intensitas pertemuanku dengan istrinya. Hanya di kantor saja kami bisa bebas bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama, lainnya tidak pernah.
"Mas Zaki gak papa kan kalau duduk di depan sendiri?" seloroh Ziah pada saat kami akan memasuki mobil.
Hanya deheman dan wajah yang terlihat tertekuk kesal menjadi jawaban. Tapi hal itu tak terlalu dijadikan persoalan, Ziah malah dengan santainya duduk di sampingku.
"Duduk depan sana, gak enak aku sama suami kamu," bisikku yang malah dibalas kekehan olehnya.
"Gak papa kali, Na, tempat makmum kan emang di belakang bukan duduk berdampingan di depan," cetus Ziah yang berhasil menarik anganku pada kejadian di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tapi Diam Series 1 || END
EspiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP Diam dan memendam adalah kegiatan yang sangat amat identik dengan perempuan. Bukan bermaksud mempermainkan ataupun tak memiliki keberanian, hanya ingin merahasiakan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi bukankah itu...