بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kehadiranku memang karena sebuah kesalahan, jadi tak heran jika banyak mengundang permalasahan."
Kakiku kaku bukan main, deru napas pun sudah sangat di luar batas normal. Di sana berdiri Riska dengan wajah datar nan sangar. Entah apalagi yang akan perempuan itu lakukan. Jika hanya sekadar ingin melontarkan cacian aku akan menerimanya dengan penuh kelapangan, walaupun aku sendiri tak yakin akan bisa tetap tegar. Aku belum siap untuk bertemu dengannya.
Ziah yang berada di sisiku dengan sekuat tenaga menggenggam tangan, dia seakan ingin menguatkan bahwa dirinya akan selalu menemani di segala situasi. Tapi jujur saja itu tidak cukup, rasa takut masih sering membayangi. Andaikan tadi tak ada drama bersama Pak Bagas, mungkin aku takkan bertemu dengan Riska.
Langkahnya semakin mendekat, dan itu berhasil membuatku berjalan mundur secara teratur. Namun dengan cepat Ziah menahan, dan memintaku untuk kembali tenang dalam menghadapi kondisi tegang ini. Menarik napas panjang dan membuangnya kasar, lalu memejamkan netra menahan sesuatu yang sudah mendesak tanpa diminta.
"Teh Riska mau apain Teh Rina lagi?!" Tanpa diduga Saras datang dari arah belakang Riska dan segera mencekal lengan kakak keduanya itu.
Aku semakin dibuat cemas saat melihat kedua adikku yang tengah bersitegang. Seharusnya aku tak berada di sini, seharusnya aku tak menuruti permintaan Saras, seharusnya aku tak lahir ke dunia ini. Kehadiranku memang karena sebuah kesalahan, jadi tak heran jika banyak mengundang permalasahan. Kenapa Allah tak cabut saja nyawaku sekarang?
Dengan kasar Riska mengempaskan tangan Saras sampai kaki perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu anak kecil. Gak usah ikut campur!"
"Teteh yang seharusnya gak usah ikut campur. Masalah ini gak ada urusannya sama kita, biarkan Umi dan Abi yang menjelaskan semuanya!"
Tangan Riska menunjuk dengan begitu sadis ke arah Saras. "Umi kritis. Jangankan untuk memberi kita penjelasan, untuk hi—"
"Jaga ucapan kamu, Riska!" Dengan penuh keberanian aku menyela ucapan Riska. Aku tak suka mendengar perkataan kasarnya, Umi pasti akan sembuh. Aku yakin itu.
Dia tertawa dengan nada yang sangat amat merendahkan. "Kenapa? Bukannya ini kan yang Teteh mau? Umi mati, ninggalin kita," katanya dengan nada tegas tapi bergetar. Aku tahu dia tengah menahan tangis yang siap untuk diledakkan.
"Kalau emang itu yang Teteh mau, Teteh gak akan pernah bersedia untuk mendonorkan darah Teteh buat Umi."
"Kenapa bukan Teteh aja yang sekarang terbaring di rumah sakit? Kenapa bukan Teteh aja yang jadi korban tabrak lari? Umi salah apa sama Teteh? Kenapa Teteh sampai hati buat Umi celaka!"
Sekuat tenaga aku menahan gemuruh yang sudah melonjak dalam dada, kedua tanganku pun sudah terkepal dengan sangat kuatnya. "Kenapa gak kamu aja yang bunuh Teteh?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tapi Diam Series 1 || END
EspiritualSELESAI || PART MASIH LENGKAP Diam dan memendam adalah kegiatan yang sangat amat identik dengan perempuan. Bukan bermaksud mempermainkan ataupun tak memiliki keberanian, hanya ingin merahasiakan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi bukankah itu...