十一 End(?)

433 48 1
                                    


​Keesokan harinya, Changbin ditemukan dekat dengan tubuh Felix yang masih dalam posisi awalnya. Tersangkut di antara besi-besi tajam yang membuat sistemnya mati total.

​Woojin dan Hyunjin yang tak menemukan pemuda itu dimanapun pada pagi hari ketika keduanya berkunjung ke rumah sakit segera mengomeli Changbin ketika pemuda itu kembali dibaringkan di ranjang pesakitan.

​Hyunjin yang menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan sepupunya itu kemudian meminta Woojin untuk keluar dari ruangan Changbin, memberi dirinya dan sepupunya itu ruang untuk membicarakan sesuatu yang bersifat privasi.

Woojin tentu menurut saja, apalagi ketika ia melihat dengan jelas jika mata Changbin sembab ketika memasuki ruangan.

​"Jika ada yang ingin kau katakan, lebih baik cepat, aku ingin istirahat." Ujar Changbin ketus dari balik selimut. Hyunjin kesal, selimut dilempar ke lantai.

Untung tubuh Changbin tidak ikut terlempar.

​"Kau yang harusnya mengatakan sesuatu padaku dasar Mr. Arrogant," Hyunjin mengambil tempat duduk di samping Changbin yang nampaknya masih kesal karena acara istirahatnya diganggu. Pemuda itu menghela napas sebelum akhirnya mulai bicara.

​"Aku minta maaf."

​Changbin jelas terkejut. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sepupunya yang kekurangan otak itu meminta maaf padanya.

​"Kau mengorbankan Seungmin, Jisung, dan Felix untuk meluncurkan Jeongin, 'kan?" Hyunjin menundukkan kepalanya, membuat Changbin sedikit tersentuh.

​"Jika saja aku tidak meminta hal yang macam-macam padamu, maka tidak akan terjadi ledakan energi seperti itu. Laboratorium, semua alat-alat canggih milikmu dan juga Chaewon, para staff, dan juga ketiga AI yang lain pasti tidak akan kehilangan teramat besar seperti saat ini."

​Hening melanda. Hyunjin tidak berani menatap Changbin. Bagaimanapun, peluncuran 0802—Yang Jeongin lebih tepatnya—adalah kehendaknya. Karena itu ia merasa menjadi tersangka utama pada ledakan hari itu.

​"Aku tidak pernah menyalahkanmu, Hyunjin."

​Changbin kembali memasang senyum miris. "Akulah yang menyuruh semua staff melanjutkan pekerjaannya untuk peluncuran Jeongin. Aku juga yang menyuruh Jeno mengevakuasi semua staff, menjauhkan Jisung dan Seungmin, meledakkan laboratorium, dan—"

​"Aku juga yang membunuh Felix—meski kurasa membunuh tidak tepat untuk robot sepertinya—tapi akulah yang merusak semua sistemnya."

​"Aku tidak berguna."

​Hyunjin memandang pemuda yang lebih tua setahun darinya itu dengan tatapan iba. Kenapa ketika ia sudah bersatu kembali dengan cintanya, Changbin justru harus kehilangan cintanya?

​"Kau tidak merusak Felix, dia memiliki perasaan, tentu dia ingin melindungimu, dan Chaewon yang memberikan itu semua." Pemuda Hwang itu kembali bicara. "Chaewon ingin melindungimu, dia tidak mau melihatmu terus-menerus memikirkan kematiannya dan berakhir dengan dirimu yang tidak kunjung bahagia."

​Changbin ingat, di malam setelah ledakan itu, tepat ketika ia dibawa ke rumah sakit, Chaewon menemuinya.

Semua ucapan dan sentuhannya terasa nyata, membuat Changbin sedikit merasa takut.

​"Apa menurutmu Chaewon tidak akan memaafkanku dari surga?" Tanya pemuda itu dengan tatapan kosong. Hyunjin yang tidak mengerti dengan pertanyaan tiba-tiba dari Changbin justru kebingungan menjelaskan.

​"Kenapa juga adikku harus marah padamu? Satu-satunya yang akan marah padamu karena kejadian ini adalah aku." Minho berdiri di ambang pintu ruang rawat, dengan Jisung di sampingnya dan Chan serta Seungmin di belakangnya.

​Pemuda itu tanpa ragu berjalan ke arah Changbin dan melayangkan satu pukulan telak ke pipi yang lebih muda. Membuat beberapa yang hadir meringis.

Tenaga Minho itu tidak main-main jika sedang serius.

​"Jika kau terus terpuruk seperti ini dan tidak menghargai apa yang adikku lakukan untukmu, aku akan marah padamu, dan memukulmu berkali-kali." Minho menatap Changbin tepat di mata.

​"Jangan sia-siakan kematian Chaewon dan Felix jika kau tidak ingin mendapat paling sedikit lima pukulan tiap harinya." Ujarnya berapi-api, tapi surut ketika Jisung mengusap pelan lengannya.

​"Kak Changbin sudah lebih baik?" Tanya Seungmin dari balik tubuh Minho. Pemuda itu kemudian menyingkir dan mempersilakan Seungmin serta Jisung bicara pada Changbin.

​Jujur saja Changbin terkejut melihat dua Artificial Intelegence miliknya itu kini bisa tersenyum dengan begitu normal dan menyapanya tanpa ragu seperti saat mereka masih berada di laboratorium.

​"Jangan sedih lagi, Felix bilang dia tidak suka." Jisung berujar kemudian meletakkan sebuah parsel berisi buah di nakas yang ada di samping tempat tidur Changbin

"Kata Felix, dia ingin melihat Kak Changbin tersenyum terus mulai sekarang." Changbin mengulum senyum sedihnya.

"Aku tahu."

Semua yang hadir kemudian saling menatap dan mengangguk serempak. Hyunjin mengambil tindakan pertama. Pemuda itu dengan cepat menutup mata Changbin meski diiringi pemberontakan yang diredam oleh Chan dan Minho.

Changbin menyerah, indera pendengarannya hanya bisa mendengar suara pintu yang dibuka. Tak berapa lama kemudian, ketiga kawannya itu melepas pegangan mereka pada tubuh Changbin.

"Lama sekali sih bicaranya, aku kan bosan menunggu di luar saja. Aku ingin bertemu dengan Kak Changbin tau."

Dan untuk pertama kalinya semenjak peristiwa ledakan itu, Changbin kembali tersenyum. Sekarang ada matahari yang akan ikut meramaikan hari-harinya.

"Halo Kak Changbin, senang bertemu dengan kakak lagi, masih ingat Jeongin kan? Iya, ini Jeongin sudah kembali. Kak Changbin jangan sedih lagi ya sekarang. Nanti rumah kakak akan ramai juga, soalnya Kak Hyunjin tinggal sama kakak, jadi Jeongin juga bakal tinggal sama kakak." Changbin hanya tersenyum mendengar ucapan Artificial Intelegence di depannya.

Kau berhasil.

"Mohon bantuannya ya, Jeongin."

Epiphany (1/4: changlix)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang