Bab 5

9 2 1
                                    

          Rabu sore, suasana di rumah wibowo begitu ricuh. Hal yang menyebabkan kericuhan bukan dari para pendaki yang ingin berangkat, tetapi dari Mama Tia. Dia mondar-mandir dengan terus mengoceh, menanyakan keperluan keberangkatan mereka telah selesai dikemas atau belum.

"ABAAANGGG, kaos kakinya udah dimasukin?" tanya Mama Tia dari arah dapur.

'"Udah Ma, Mama tenang aja. Semuanya udah kita siapin dari semalem," jawab Reynald enteng. Semua para pendaki duduk manis di ruang tamu, menunggu Papa Bram bersiap-siap untuk mengantar mereka ke bandara.

"Bagus, ADEEKKKK...Syal kamu udah dimasukin?" Giliran Lona yang diberikan pertanyaan. Lona hanya terkekeh dan berjalan menghampiri mamanya.

Memeluk tubuh mamanya dari belakang, Lona menyampirkan kepalanya di leher wanita yang tampak khawatir itu. "Mama, Mama ga usah khawatir, kan ini bukan pertama kalinya kita ngedaki, malahan udah sering kok. Perlengkapan juga udah semua, udah berapa kali di cek. Ini juga, kok Mama bikinin bekal sih? Masa di pesawat bawa bekal?"

"Namanya juga seorang ibu, pasti khawatir sama anaknya. Apalagi sama kamu, princess di rumah. Ini juga Mama bawain bekal biar makan di pesawat nanti, awas ya kalo engga dimakan!"

"Iya iya deh Ma, terserah Mama. Lona mah ngikut kata Ibu Negara aja," pasrah Lona mengerucutkan bibirnya. Dia mencium pipi mamanya sekilas lalu pergi meninggalkan mamanya menuju ke ruang tamu.

          Dia berjalan seraya menundukkan kepalanya bermain ponsel. Terlalu sibuk dengan aksi bertukar pesan dengan Putri, Lona tak menyadari keadaan sekarang.

"Papa udah siap? Kuy berang...." Lona mendongakkan kepalanya perlahan. "LHO ANJIRRR!!" Lona kaget dengan sosok yang tak diharapkannya telah duduk enteng di depan papanya.

"LONA!"

"ADEK!"

"NANA!"

          Seruan serentak di arahkan kepada Lona. Lona yang sadar kesalahannya langsung menutup mulut. Cengengesan Lona duduk di samping papanya.

"Adek ga boleh ngomong gitu lagi ya," nasehat Papanya mengelus rambut Lona pelan.

          Mendapati fakta bahwa papanya dalam mode jinak-jinak merpati, Lona langsung memeluk papanya dari samping. Dia menganggukan kepala tanda setuju dengan ucapan papanya.

"Tapi kok Shoun bisa di sini sih, Pa?" Lona bertanya dengan mata menyipit tajam ke arah Shoun. Shoun yang diberikan tatapan tersebut malah membalas dengan menyeringai licik.

"Papa yang kabari dia, biar bisa jagain kamu nanti."

"Lha? Yang lain kan juga bisa jagain Lona."

"Ga ada salahnya kan nambah penjaga kamu?"

"Tapi kan Paaaa, kita ganjil lhoo," elak Lona tetap kekeh.

"Aku udah kabari temen kamu, Putri." Rendra yang menjawab pertanyaan Lona. Dia tetap menyeringai licik kepada Lona. Seolah seringaiannya berarti Kamu kalah dari aku.

Aish, Sial!!
Teganya Putri mendusta, pantesan dari tadi nanya 'Udah berangkat belom?' Mama juga! Pantesan enteng bikinin bekal, pasti berangkat pake pesawatnya Shoun! Dasar otak pas-pasan! Kok kek gitu aja ga peka sih?!

          Lona memayunkan bibirnya kesal, dia menyilangkan kedua tangannya. Hal itu tak berlangsung lama, karena seketika Lona langsung tersenyum lebar, mendapatkan sebuah ide cemerlang yang jarang singgah di dalam kepalanya.

Tepat ketika mamanya berjalan menuju ke arah mereka, Putri juga memasuki rumah dengan santai. "Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.

          Kedatangan kedua manusia yang bersengkongkol tersebut sempat membuat Lona kembali mengerucutkan bibirnya. Pemandangan Lona yang kesal membuat mamanya dan temannya itu terkekeh. Putri berjalan menuju Mama Tia dan menyalim tangannya.

          Berbalik arah, Putri duduk di samping Lona dan mencium tangan Papa Bram. Sementara para pria diberikannya lambaian tangan dan tersenyum tipis.

"Ntar gue beliin lo hoodie terbaru," bisik Putri ke telinga Lona. Sogokan Putri sudah pasti membuahkan hasil, Lona langsung meraih tangan Putri dan menjabat tangannya.

"DEAL!" kata mereka berdua serentak dan tersenyum lebar.

Papa Bram segera berdiri dan berjalan menuju pintu utama. "Ayo berangkat," ajak Papa Bram.

          Mereka segera keluar rumah dan memasuki mobil. Mobil yang mereka bawa ada dua, satu mobil berisi empat orang. Mobil pertama diisi oleh Papa Bram, Mama Tia, Lona, dan juga Putri. Dan sisanya ada di mobil kedua.

          Perjalanan mereka hanya menempuh lima belas menit, karena mereka pergi ke landasan pribadi keluarga Rendra bukannya ke bandara.

          Setelah tiba, mobil kedua yang ditumpangi segera memasuki tempat parkir pribadi. Sementara mobil pertama berhenti di tempat biasa. Urusan parkir-memarkir mobil telah usai, mereka berkumpul di ruang tunggu.

"Jagain para princess ya! Kalau lecet, kalian masuk ke ruang latihan Papa!" peringat Papa Bram tegas, para pria menjawab 'iya' dengan postur tubuh tegap, tanda serius berjanji.

Giliran Mama Tia ingin bertuah, baru saja ingin membuka mulutnya, yang lain sudah berucap, "JAGAIN LONA, JANGAN LECET! Kalau dingin jangan lupa pakai kaos kaki sama syal. Kalau lapar, langsung masak. Hati-hati selama perjalanan. Pulang-pulang harus sama keadaannya kayak waktu pergi." Semua menjawab serentak, setelah itu mereka tertawa bersama, kecuali Papa Bram dan Rendra tentunya.

          Suara derap langkah kaki menghentikan tawa mereka, mereka menoleh ke arah sumber suara. Nampaklah seorang pilot yang memakai seragam kebanggaannya. Sangat gagah. Pilot itu menjabat tangan Papa Bram, Mama Tia, Reynald, dan juga Rendra. Dia melapor bahwa pesawat telah siap diterbangkan.

          Para pendaki yang ingin berangkat langsung menyalim Papa Bram dan Mama Tia tanda perpisahan. Mereka segera berjalan memasuki landasan dengan tangan kosong. Yang mana ransel mereka masing-masing telah dibawa pengawal Rendra.

          Mereka memasuki pesawat pribadi Rendra, Lona dan Adam adalah orang yang terakhir memasuki pesawat. Terlihat bahwa Rendra menatapnya penuh arti tanda bahwa ia ingin Lona duduk disampingnya. Lona berjalan menuju ke arah Rendra. Tersenyum kepada Rendra, Lona melenggang kebelakang Rendra tempat dimana Putri duduk.

MAMPUS KAO!!! HAHAHA

          Rendra menoleh ke belakang dan menatap tajam Lona. Lona membalas dengan mengangkat dagunya angkuh. Dia segera mengabaikan Rendra dan berpaling ke arah Putri dan mengajaknya berbicara.

"Btw, Na. Kita mau ke gunung mana?" tanya Putri penasaran.

"Lha? Lo kaga tau? Serius anjir? Gila sihh!!" jerit Lona pelan, tentu saja pelan, kalau tidak dia akan dimarahi karena berbicara keras. Lona juga heran dengan Putri, bagaimana ia memilih ikut saja tapi tidak tau mau kemana.

"Serius anjir. Lo tau ngga? Pas Rendra nelpon, gue langsung panas dingin njir. Terus dia bilang mau ngajak gue pergi, gue iyain aja. Takut kalo kelamaan nelpon gue bakal pingsan," curhat Putri panjang lebar dengan ekspresi yang begitu lucu, hingga Lona terkekeh dibuatnya.

"Emang kita mau kemana?" lanjut Putri geram karena ditertawakan Lona.

"Ke Semeru."

"Semeru di Malang?"

"Iya."

"Tinggi nggak?"

"Gunung tertinggi di Jawa."

"Gila anjir, gue pertama kali ngedaki langsung yang paling tinggi."

"Selo aja lo! Ada gue kok! Tenang aja!"

"Iyain bambang."

"Ya deh maemunah."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ig : @Aidhamwdhsrgr

SHONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang