Versi lengkap bs diakses di google play store dan KBM Nia_Andhika
###
"Wah, makasih banyak ya, Sayang. Tante sudah lama pengin clucth ini tapi tuh si Bhumi cuek aja." Mega, mama Bhumi memeluk Juni dengan suka cita begitu menerima kado yang Juni bawakan umtuknya. Wanita itu seketika membuka kado begitu Juni memberikan kepadanya.
Acara ulang tahun wanita paruh baya itu bukanlah acara ulang tahun mewah yang mengundang banyak orang. Hanya sekedar makan malam bersama dengan seluruh anggota keluarga. Anak, menantu juga cucu-cucunya.
Bhumi adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya semuanya telah menikah dan masing-masing mempunya dua orang anak. Hanya Bhumi yang masih sendiri.
"Mama tau aja barang bagus." Hanya itu jawaban yang Bhumi lontarkan. Selebihnya pria itu seketika bergabung dengan saudara-saudaranya. Meninggalkan Juni yang terlihat sibuk dibombardir pertanyaan tiada henti oleh kedua orang tuanya. Bhumi tahu, gadis itu pasti bisa mengatasi rasa penasaran kedua orang tuanya pada gadis yang ia kenalkan sebagai kekasihnya itu.
Pukul sembilan malam Bhumi mengantarkan Juni pulang ke rumahnya. Untung saja tadi sepulang bekerja dan mengambil kue tart, Juni meminta Bhumi mampir ke rumahnya.
Rencana yang tak disengaja sebenarnya. Awalnya ia tak ingin mampir ke rumahnya namun karena sebal akibat ulah Bhumi yang meninggalkannya untuk menerima panggilan telepon, Juni pun sengaja meminta Bhumi mengantarkannya pulang untuk mandi meskipun wajahnya baru saja terpoles make up.
Ia butuh mandi untuk menyegarkan tubuh juga otaknya. Lagi pula jika dipikir lagi, tak mungkin kan ia pergi ke rumah Bhumi dalam keadaan kusam lengkap dengan baju kerjanya yang telah ia kenakan sedari pagi tadi. Pasti akan memalukan.
"Abang nggak mau masuk?" tanya Juni saat ia sudah bersiap turun dari mobil Bhumi. Pria itu mengantarkannya hingga di depan pagar rumah Juni.
"Lain kali aja. Masih mau bantuin mama beresin kekacauan tadi."
Juni mendengus, memang ia tak berharap pria itu akan mampir ke rumahnya karena hari sudah begitu larut, namun kenapa alasan membantu membereskan sisa-sisa kekacauan terdengar begitu aneh di telinga Juni? Bukankah ada asisten rumah tangga di rumah itu?
"Iya deh. Bang Bhum hati-hati ya. Ntar kalau sudah sampai rumah kasih kabar."
"Siap, Bu Bos!" Bhumi meletakkan telapak tangan kanannya di sisi kepala dengan gerakan memberikan hormat.
"Yang jadi bos itu kamu. Bukan aku."
"Kan kamu nantinya bakal jadi nyonya bos." Bhumi menjawab dengan nada menggoda. Bukannya tersipu, Juni malah bergidik.
"Pasaran banget deh rayuan kamu, Bang. Diaminkan nggak nih?" Juni balas menggoda.
"Harus dong."
"Moga aja nggak jadi penjaga jodohnya orang." Juni terbahak. Entah kenapa ia begitu santai menjalani hubungannya dengan Bhumi. Mungkin karena sudah berkali-kali menjalin hubungan dengan beberapa pria berbeda, akhirnya ia tak berharap terlalu tinggi pada pria-pria itu.
Ia memang begitu realistis. Jodoh tak tahu kapan datangnya dan dengan siapa. Berkali-kali dekat dengan seseorang toh tak membawanya pada hubungan yang menghasilkan kata Sah di akhir kisah cintanya. Selalu saja ada hal yang membuat mereka berpisah.
"Kamu bercandanya nggak lucu banget, Sayang."
"Aku realistis, Bang. Bisa aja sekarang Abang ngomong cinta sama aku, panggil sayang-sayang. Ntar sampai rumah senyum-senyum chatting sama yang lain."
"Kamu pikirannya jelek terus."
"Bukan negatif thinking sih, Bang. Tapi harus belajar menerima kenyataan. Kita harus belajar, dalam suatu hubungan, yang dekat belum tentu berakhir akad. Berdoapun juga harus realistis. Minta didekatkan jodohnya. Jodoh yang terbaik. Jodoh dunia akhirat."
"Berati kamu nggak pernah minta berjodoh denganku dong kalau berdoa?" Bhumi tampak tak terima.
"Kan aku sudah bilang. Aku berdoanya semoga diberikan jodoh yang terbaik. Kalau Abang jodohku berarti Abanglah yang terbaik untukku." Bhumi tersenyum masam. Sepertinya ia harus mengalah pada kekasihnya itu. Teramat sulit untuk bisa membuat kekasihnya itu bertekut lutut.
"Ya udah deh, aku balik dulu. Kamu langsung tidur ya. Nggak usah begadang sampai malam." Bhumi memajukan tubuhnya hendak memberikan sebuah ciuman atau setidaknya kecupan selamat malam. Namun yang bibirnya rasakan justru benda keras yang ternyata adalah tas Juni. Gadis itu terkekeh geli menelungkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Maaf ya, Bang. Belum Sah, nggak boleh asal sosor." Juni memberikan cengiran khasnya lalu membuka pintu di sampingnya dan secepatnya turun. Dikeluarkannya kunci dari dalam tasnya untuk membuka pintu pagar. Saat ia sudah memasuki pintu pagar dan menguncinya kembali, Bhumi memacu mobilnya diiringi lambaian tangan Juni.
Baru lima langkah Juni memasuki halaman rumahnya, tiba-tiba ia teringat sesuatu, Sial! Bagaimana mungkin ia begitu mudah melupakan uang pembayaran kue tart juga roti yang tadi sore ia keluarkan. Bukankah seharusnya ia meminta uang itu kembali kepada Bhumi?
Mungkin jika hanya seratus atau dua ratus ribu sih tak masalah. Tapi tadi uang yang ia keluarkan nyaris mendekati angka satu juta. Tak mungkin kan ia harus mengeluarkan uang sebanyak itu cuma-cuma. Lagi pula ia sudah mengeluarkan cukup banyak uang untuk membeli clutch hadiah ulang tahun mama Bhumi.
Sial! benar-benar sial. Juni menghentakkan kakinya berulang kali menyesali kebodohannya.
***
07062020
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNI DAN ISI DOMPETMU
ChickLitMendapatkan gelar wanita mandiri nan sukses dengan aliran uang setiap bulan yang tak pernah berkurang mengisi rekeningnya, tak membuat Juniandra serta merta mendapatkan kebahagiaan lahir batin. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Tentu saja semu...