11.2 Cobaan Jomlo

3.4K 223 7
                                    

Versi lengkap bisa diakses di google play store dan Karya karsa Nia Andhika

###

"Jun, emm ...," Pria itu tampak ragu saat akan melontarkan kalimatnya.

"Kenapa, Pak? Bapak ngomong aja nggak perlu sungkan."

Bian tampak menyunggingkan senyum teduhnya sebelum menarik napas berat lalu berucap, "Saya akan mengantarkan kamu duluan saja," putus pria itu tiba-tiba. Yang seketika membuat alis Juni bertaut.

"Ada apa sebenarnya, Pak? Maaf bukan saya ikut campur. Tapi jika Bapak ada urusan yang lebih penting saya bisa turun di sini untuk memesan taksi." Setidaknya Juni tak perlu khawatir jika Bhumi masih menunggunya. Ia akan mampir ke salah satu kafe yang ia lewati sebelum pulang nanti.

"Saya harus menemui pengacara keluarga mertua saya. Tidak jauh dari sini, lima menit lagi kita melewatinya."

"Oh, ya sudah nggak masalah, Pak. Bapak bisa mampir dulu ke sana."

"Tapi saya khawatir kamu menunggu terlalu lama. Saya antarkan kamu terlebih dahulu saja agar tidak perlu menunggu." Bian tampaknya merasa tak nyaman jika Juni harus menunggunya. Ia tadi yang menawarkan tumpangan. Namun sekarang justru menelantarkan gadis yang menjadi karyawannya itu.

"Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang dengan taksi atau jika Bapak tidak keberatan saya bisa menunggu kok. Itupun jika Bapak merasa nyaman." Sepertinya itulah cara paling tepat. Jalan tengah agar Bian tak merasa sungkan namun Juni juga tenang. Lagi pula Juni sedang tidak terburu-buru untuk pulang. Semakin ia pulang telat maka akan semakin bagus. Jika Bhumi memang benar-benar menunggunya, pasti pria akan mati kebosanan lalu pulang.

"Baiklah kalau begitu, kita akan menemui pengacara terlebih dahulu lalu setelah itu saya akan mengantarkan kamu pulang. Tapi, apa kamu tidak keberatan menunggu? Saya takut akan terlalu lama. Kamu pasti capek setelah seharian bekerja dan ingin segera beristirahat di rumah."

Juni mengulas senyum, pria di sebelahnya ini mampu menarik perhatian lawan jenisnya tanpa diinginkan. Lalu kenapa istrinya sampai berselingkuh? Apa kira-kira kekurangan pria ini?

"Bapak tenang saja. Saya memang tidak berkeinginan cepat-cepat pulang. Malah tadi saya rencananya mau mampir ke salah satu kafe sebelum pulang." Juni akhirnya berkata jujur namun tak memberikan alasannya.

"Baiklah jika kamu tidak keberatan, itu di depan kita belok kiri di sana ada kantor sekaligus rumah pengacara keluarga mertua saya." Bian mengulas senyum, tak lama kemudian membelokkan mobil lalu berhenti di depan sebuah rumah yang bersebelahan dengan kantor pengacara.

Ada urusan apa sebenarnya pria ini di sini? Juni ingin melontarkan pertanyaan namun ia sadar, ia bukan siapa-siapa. Tak perlu terlalu ikut campur urusan atasannya.

"Ayo keluar, kamu pasti bosan kalau menunggu di sini." Suara Bian terdengar begitu mobil yang ia kendarai berhenti sempurna. Pria itu terlihat melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.

"Memang tidak masalah kalau saya ikut turun, Pak?" Juni tak yakin ia akan mengikuti atasannya itu dan mengetahui urusan pribadinya.

"Kamu akan kebosanan di sini. Tunggu di sana saja." Bian menunjuk kantor pengacara di depan mereka.

"Sudah malam. Seharus kantornya sudah tutup tapi karena mertua saya ingin segera menyelesaikan beberapa persoalan jadi mau tidak mau harus diselesaikan sekarang juga." penjelasan Bian masih tak membuat Juni sepenuhnya paham. Namun gadis itu mengekori Bian yang sudah turun dari kendaraannya terlebih dahulu lalu berjalan memasuki kantor pengacara yang berada di hadapan mereka.

Seorang pria menyilakan mereka masuk begitu Bian tiba di taman mungil kantor itu. Bian tampak mengiyakan lalu memasuki kantor yang tak begitu luas namun terasa nyaman. Apa lagi dengan adanya pendingin udara di sana. Juni mengedarkan pandangan, tak jauh dari pintu masuk terdapat sofa yang sepertinya cukup nyaman untuk diduduki. Juni pun meminta izin untuk menunggu di sana selama Bian menyelesaikan urusannya di ruangan pengacara yang berada di bagian belakang ruang tunggu.

Untuk menghabiskan waktunya Juni akhirnya mengeluarkan ponsel yang sedari tadi ia matikan. Dan hasilnya sudah ia duga. Puluhan pesan masuk ke ponselnya. Beberapa di antaranya dari grub chat kantor juga teman-temannya. Namun yang menduduki peringkat pengirim pesan terbanyak adalah Bhumi. Pria itu ternyata masih pantang menyerah dan mengatakan jika ia menunggu Juni di depan rumah gadis itu.

Tebakan Juni tak melesat. Namun saat Juni melihat waktu pengiriman pesan, sepertinya Juni bisa tersenyum lega. Pesan itu sudah terkirim sekitar satu jam yang lalu. Mungkin saat ini Bhumi sudah mati kebosanan menunggunya lalu pergi meninggalkan rumah Juni. Ya, semoga saja. Juni berdoa dalam hati.

"Tanah kuburan Sefrine masih basah tapi kamu sudah terang-terangan bawa wanita ke sini. Jangan menyalahkan Sefrine jika dia mencari pelarian. Kamu tidak pernah memedulikannya. Ia hanya berusaha mencari kebahagiaannya sendiri yang tak ia dapatkan dari suaminya." Suara keras yang terdengar cukup sinis seketika membuat Juni menghentikan gerakan tangannya yang menekuri ponsel.

Gadis itu mengangkat pandangan dan seketika matanya bersirobok dengan seorang wanita yang Juni perkirakan berusia enam puluhan. Wanita itu terlihat melayangkan pandangan tidak sukanya dengan begitu jelas.

"Maaf, Mi. Mami sudah salah paham. Dia tidak tahu menahu masalah saya dan Sefrine. Dia karyawan saya yang kebetulan saya beri tumpangan." Bian berusaha membuat wanita itu paham. Namun sepertinya usaha Bian sia-sia. Wanita itu kembali mengeluarkan amarahnya.

"Nah, kan. Mana ada atasan suka rela ngasih tumpangan kepada bawahannya. Jadi selama ini Sefrine benar. Kamu yang memicu semua ini. Malang benar anak itu. Dapat suami kok bawa musibah. Coba kamu lebih perhatian sama Sefrine pasti anak itu nggak bakalan berakhir tragis kayak gini. Makanya aku nggak rela rumah itu jadi milik kamu dan nantinya kamu tempati dengan pengganti Sefrine. Rumah itu milik Sefrine. Kamu yang harus pergi dari sana."

"Maaf, Bu. Sudah ya, kita tidak usah meributkan masalah itu di sini. Pak Bian sudah setuju. Jadi lebih baik kita tidak usah membahas masalah itu lagi." Seorang pria seusia Bian terlihat menenangkan wanita itu.

"Pak Akbar harus menyelesaikan masalah ini secepatnya. Dia harus segera pindah dari rumah itu segera." Wanita yang masih terlihat begitu emosi itu mengarahkan telunjuknya pada Bian. Namun pria itu tak merespons sama sekali. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang tak Juni mengerti.

Tak lama kemudian wanita itupun meninggalkan kantor pengacara, di luar terlihat seorang pria yang sepertinya adalah sopir wanita itu membukakan pintu mobil lalu mobil yang mereka naiki berlalu meninggalkan bangunan dua lantai itu.

"Maaf, Pak Bian jika Ibu Risma sedikit emosi. Beliau baru saja kehilangan putrinya." Pria yang sempat menenangkan wanita yang bernama Risma itu tersenyum sungkan.

"Saya juga baru kehilangan istri saya jika Pak Akbar ingat." Bian membalas ucapan pria itu. Sepertinya Juni mulai memahami situasi yang terjadi saat ini. Wanita yang tiba-tiba marah tadi mungkin adalah ibu Sefrine, mertua Bian. Lalu kenapa wanita itu justru terlihat memusuhi Bian?

Lagi pula, kenapa wanita itu tadi tiba-tiba begitu marah kepada Juni dan mengatakan sesuatu yang aneh? Apa wanita itu mengira Juni adalah selingkuhan Bian? Ih, amit-amit. Yang single namun kece aja masih banyak yang antri, ngapain sukarela jadi pelakor. Eww..., najis banget! Juni membatin ngeri.

###

Friends. Mampir juga ke lapak perfectly imperfect ya. Masih jalan 2 bab. Siapa tahu suka.😅😅

JUNI DAN ISI DOMPETMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang