6. Saling Tuding

3.3K 590 86
                                    

Versi lengkap bisa diakses di google play store dan KBM Nia_Andhika

###

Juni dan teman-temannya terlibat perbincangan cukup akrab dengan keluarga atasan mereka. Namun karena hari sudah semakin larut mereka terpaksa menyudahi perbincangan mereka.

Bhumi terlihat ingin mengatakan sesuatu kepada Juni. Pria itu tak lepas memandang Juni sejak gadis itu bergabung dengan keluarga Bian. Pria itu juga berulang kali berkutat dengan ponselnya. Entah untuk tujuan apa.

"Terima kasih atas kedatangannya. Tolong tetap dukung Bian di kantor ya. Titip dia agar dia bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah ini. Pihak kepolisian masih terus menyelidiki kasus ini. Ibu tidak tega melihat anak ibu seperti ini. Sudah jatuh tertimpa tangga." ibu Bian terus menerus melontarkan kalimatnya yang tak satupun mendapat respon. Juni dan teman-temannya hanya tersenyum canggung mendengarkan ucapan wanita baya itu.

Setelah berbasa-basi cukup lama akhirnya mereka berempat berpamitan. Namun belum sampai mereka keluar pagar rumah atasan mereka, Biantoro, atasan mereka terlihat memasuki halaman rumah itu diikuti beberapa orang di belakangnya. Wajah lelah terlihat jelas di sana.

"Pak, kami pamit dulu. Kami turut berbela sungkawa. Semoga amal ibadah Bu Sefrine diterima dan Pak Bian selalu diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan ini." Mike yang berucap. Dalam hati Juni tersenyum. Bisa juga tuh orang diajak ngomong serius.

"Terima kasih kepada teman-teman semuanya. Dukungan kalian begitu berarti bagi saya." Pria itu berucap dengan senyum sendu.

"Oh, Ya. Besok saya masih tidak masuk. Tolong kirimkan berkas-berkas yang harus saya kerjakan dan juga tanda tangani ke sini ya. Mike, saya percayakan semuanya kepada kamu ya. Tolong di atur," lanjut pria itu.

"Bapak tidak usaha khawatir. Saya akan memastikan semuanya baik-baik saja. Kan masih ada Pak Ragil yang nantinya akan membantu." Mike menyebut sekretaris kepercayaan Bian di kantor.

Sekretaris pria itu memang bukan berasal dari kaum bergincu. Ia mengatakan lebih nyaman jika bekerja dengan sesama laki-laki. Mau dibawa ke mana saja tidak akan menimbulkan kesalah pahaman juga omongan yang kurang baik di belakang.

"Iya. Tapi dia tidak mungkin mengerjakan semua pekerjaan saya sendirian. Makanya saya minta bantuan kamu, Mike. Lagi pula kita sedang ramai-ramainya saat ini. Saya harap pengiriman kita tak akan pernah terhambat meskipun saya tidak ada di kantor."

"Siap, Pak. Bapak tenang saja. Bapak mempunyai karyawan-karyawan terbaik yang bisa diandalkan." Mike berkata pongah yang mau tak mau membuat teman-temannya mengulum senyum.

"Kalau begitu kami pamit, Pak. Selamat beristirahat." Mereka lalu bersalaman pada orang nomer satu di kantor mereka.

"Kalian berangkat bersama?" Bian mengedarkan pandangan pada keempat karyawannya.

"Satrio berangkat sendirian, Pak. Laras sama Juni kebetulan numpang ke saya. Kami kan searah." Mike memberi penjelasan.

"Oh, ya sudah. Hati-hati di jalan. Dan sekali lagi terima kasih banyak."

Akhirnya mereka berempat-pun kembali pulang. Juni adalah orang pertama yang Mike antar. Setelah menurunkan Juni tepat di depan pagar rumahnya, pria itu kembali melanjutkan perjalanan.

Tiga puluh menit kemudian saat Juni sudah bersiap menaiki ranjang empuknya. Terdengar bel rumahnya berbunyi. Dengan hati dongkol, Juni akhirnya meraih cardigan untuk menutupi gaun tidurnya yang lumayan terbuka.

Saat dibukanya pintu depan dan melihat siapa pengganggu yang mendatangi rumahnya. Decakan sebal seketika terdengar.

Bhumi. Ia hampir saja melupakan pria itu. Setidaknya ia bersyukur tak terlalu memikirkan dengan siapa pria itu tadi ke rumah Bian.

"Sayang, kamu belum tidur kan? Buka pagarnya dong. Aku dari tadi kirim pesan tapi belum kamu buka." Bhumi terlihat memelas. Juni ingat ia memang tidak menyentuh ponselnya sama sekali. Biasanya ia akan melakukan itu sebelum tidur untuk mengecek siapa saya yang menghubunginya.

"Ngapain Situ datang ke sini? Mana selingkuhan kamu? Udah dianterin pulang ya?" jawab Juni sengit saat ia akhirnya membuka pintu pagar dan membiarkan Bhumi memasuki rumahnya.

"Kamu jangan salah paham dong, Sayang. Aku tuh cuma bantuin aja tadi. Aku terpaksa harus nganterin Mika ke sana." Juni mengerutkan alis. Kenapa semuanya makin tak masuk akal?

"Heh! Dia kan keponakannya Pak Bian. Ngapain dia minta antar kamu? Lagi pula kan dia bisa berangkat ke sana bersama orang tuanya. Aneh banget." Juni menghempaskan diri di sofa empuk di depan televisi berukuran raksasa di depannya.

"Kamu juga nggak bilang kalau ke sana." Bhumi tak mau menyerah.

"Emang Abang nanya? Tadi siang Abang kan bilang mau nganterin mama ke dokter. Eh tiba-tiba aja ketemu di rumah Pak Bian."

"Mama nggak jadi ya sudah deh aku nganterin Mika."

"Nah, sejak kapan kenal si Mika-Mika itu? Selingkuh sama anak kecil." berondong Juni.

"Aku kenal sama Sefrine, Jun. Dia temanku. Kami berteman saat di bangku kuliah. Dia kakak tingkatku. Dari sana aku akhirnya juga kenal Mika."

Juni mengembuskan napas lelah.

"Kamu kok bisa ada di sana? Siapa Bian sebenarnya?" Bhumi bertanya dengan nada tak senang.

"Dia atasanku di kantor."

"Nah, kan. Sekarang siapa yang berbohong. Lalu ngapain kamu bilang tadi kalau kamu temannya si Bian?"

"Suka-suka aku dong Bang. Nggak usah playing victim. Salah sendiri tadi diam-diam aja di depan Mika. Akhirnya aku bilang kalau karyawan kamu. Terus kalau aku juga bilang kalau karyawan Pak Bian kan jadi aneh. Masak aku bekerja di dua tempat berbeda? Impossible banget kan?" Juni tersenyum jumawa.

"Makanya Bang. Kalau sudah ada nama lain di sini," Juni menunjuk dada Bhumi. "mending putus aja. Enak kan? Aku nggak mau lo diselingkuhin. Aku juga bukan golongan para istri yang rela di poligami suaminya," lanjut Juni.

"Jangan dong, Sayang. Jangan gampang asal nyebut kata putus. Kita jalan baru dua bulan."

"Kamunya banyak bohong. Enak banget."

"Kapan sih yang bohong? Kan aku sudah bilang kalau aku teman Sefrine makanya aku bersedia nganterin si Mika ke sana. Masak teman sendiri meninggal aku nggak datang."

"Tapi kamunya juga nggak ngaku di depan Mika." Juni bersungut sebal.

"Gimana mau ngaku kalau kamu sudah terlanjur bohong duluan," elak Bhumi.

"Pokoknya aku males jalan sama orang nggak jujur."

"Ayo dong, Sayang. Masak cuma hal sepele kayak gini kamu udah bilang putus. Kayak anak sekolahan aja. Kamu minta apa aja deh. Ntar aku kasih sebagai hadiah. Yang penting kita nggak putus." Otak Juni seketika berputar. Saat satu hal terlintas di kepalanya ia pun seketika berkata.

"Balikin gih uang yang kemarin aku pakai buat bayarin kue tart mama sama beli roti. Terus akhir pekan ini aku pengin fine dining."

###

Abaikan kalau cerita ini semakin lama semakin halu.😆😆😆
Nia Andhika
13062020

JUNI DAN ISI DOMPETMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang