Versi lengkap bisa diakses di google play store atau Karya karsa Nia Andhika
###
"Maaf ya Jun. Kamu jadi terlibat kerumitan permasalahan saya." Bian berkata pelan sesaat setelah mereka berdua memasuki mobil Bian. Pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan menjalankan mobilnya.
"Nggak apa-apa, Pak. Bapak nggak usah sungkan kalau sama saya." Juni terkikik menunjukkan gigi putihnya.
"Itu tadi ibu mertua saya. Ibunya Sefrine. Beliau sudah salah paham. Kamu dengar sendiri kan tadi, beliau mengira saya ada hubungan khusus dengan kamu." Juni mengangguk namun tak berani berkata-kata. Bukan tempatnya jika ia ikut campur masalah atasannya itu.
"Seharusnya Bapak memang tidak usah memberikan tumpangan kepada saya. Apalagi dalam situasi Bapak yang sedang berkabung." Bagi Juni atasannya ini memang terlalu baik.
Tidak baik bagaimana jika dia seringkali mengajak karyawannya untuk turut serta pulang bersamanya. Terkadang bahkan jika pria itu berangkat ke kantor dan kebetulan melihat salah satu anak buahnya masih menunggu taksi ataupun kendaraan umum lainnya, pria itu tak segan untuk berhenti dan menawarkan tumpangan. Benar-benar bos pujaan.
"Apa hubungannya berkabung dengan memberi tumpangan? Kita searah dan hingga hari mulai gelap kamu masih di kantor sendirian. Masak saya bisa tenang melihat karyawan saya seperti itu?" Juni melebarkan senyuman. Ya seperti itulah atasannya di kantor. Tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Atasan yang selalu membaur dengan karyawannya.
"Bapak terlalu baik hingga terkadang membuat orang salah paham. Seperti contohnya mertua Pak Bian tadi."
Bian tampak menarik napas berat. "Kalian semua sudah saya anggap saudara, keluarga, teman. Masak sama keluarga sendiri nggak saling bantu."
"Iya benar. Makanya kami semua betah kerja ikut Bapak." Bian hanya mengulas senyum mendengar jawaban Juni. Ia menghidupkan mobil lalu memacunya membelah jalanan yang cukup padat.
"Beberapa hari ke depan saya akan pindah dari rumah." Tiba-tiba Bian berucap di lima menit perjalanan mereka. Juni pun hanya menoleh memandang pria yang serius memperhatikan jalanan di depannya.
"Tadi saya menemui pengacara mertua saya untuk menyelesaikan masalah itu. Rumah itu adalah rumah yang kami bangun bersama sebelum memutuskan menikah. Rumah itu sudah berusia cukup lama, sudah belasan tahun. Begitu Sefrine tidak ada, orang tuanya meminta agar rumah itu mereka ambil karena ada hak Sefrine di sana." Juni cukup terkejut mendengar penuturan Bian tanpa ia minta. Namun ia hanya menyimak apa yang pria itu sampaikan kepadanya.
"Beliau tidak rela jika rumah itu nantinya akan saya tempati dengan wanita lain yang mungkin di waktu mendatang akan menjadi istri saya," Bian menjeda kalimatnya dengan kekehan miris. "Jika setiap orang bisa membaca isi hati orang lain, pasti tidak ada yang namanya menduga-duga, prasangka buruk, juga fitnah. Semua kebenaran pasti akan terlihat dan akan ketahuan mana yang jujur dan mana yang berdusta."
"Maaf, saya sudah terlalu banyak berbicara. Pasti kamu tidak nyaman, Jun." Bian menoleh sekilas melihat Juni yang tak mengeluarkan sepatah katapun.
"Bapak tidak perlu sungkan." Senyuman tampak di bibir Bian.
"Kita berhenti untuk makan malam dulu ya, Jun. Nggak masalah kan?" Bian mengalihkan topik pembicaraan.
Juni berpikir sekilas, sepertinya cukup menarik jadi ia tak perlu pulang terlalu cepat. Tapi sayangnya perutnya beberapa saat yang lalu sudah terisi mie ayam. Yah meskipun hanya sampai beberapa suap ia sudah berhenti akibat bertengkar dengan Bhumi.
"Terserah Bapak saja. Tapi saya belum mandi lo, Pak. Kucel banget pakai baju kerja dari pagi." Juni meringis menyadari keadaannya yang begitu menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNI DAN ISI DOMPETMU
ChickLitMendapatkan gelar wanita mandiri nan sukses dengan aliran uang setiap bulan yang tak pernah berkurang mengisi rekeningnya, tak membuat Juniandra serta merta mendapatkan kebahagiaan lahir batin. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Tentu saja semu...