Lorong rumah sakit memang sepi, tapi dinding tanpa kilap jadi pemerhati laki-laki yang perlahan melepas apron medis bernoda darah. Kini, dalam balutan tubuhnya hanya tersisa seragam biru ruang operasi serta masker yang masih menggantung di lingkaran leher.
Langkahnya gontai.
Tidak seperti lampu yang menyala terang, dalam pandangannya hanya mempresentasikan kesuraman.
Merasa semakin berat melangkah, laki-laki itu menepi, duduk bersandar dinding sambil meremas kedua sisi kepala.
Ia gagal.
Pasiennya meninggal di meja operasi, padahal sejak awal ia yakin operasi dalam penanganannya pasti sukses. Keyakinan itu kandas menjelma kecewa. Maka tidak heran ada ungkapan, terlalu percaya diri akan membawa manusia pada kehancuran.
Menit mengalir sampai pada jam, tidak ada seseorang yang melewati lorong, hingga kesan sepi dan kelam semakin terasa.
Satu jam menenangkan diri, walau tidak sepenuhnya tenang, ia kembali melangkah meninggalkan lorong sekaligus apron medis yang tergeletak lemah di lantai.
Beberapa perawat membungkuk sopan sebagai tanda hormat ketika dirinya menjejaki lantai dua. Namun, ia telah membuat seseorang meninggal, masih pantaskah dihormati?
Kecewa belum pudar, dan tombak bersalah sudah menghadang tatkala kakinya membawa diri ke aula enam. Orang-orang menangis di dalamnya, mereka adalah keluarga dari pasien yang meninggal kala proses operasi berlangsung.
Berita kematian, duka mendalam, atau setumpuk doa dan harapan sudah terbiasa memutari udara rumah sakit. Lain cerita jika dirimu yang memancing kesedihan itu mengudara, kau sumber dari perasaan kehilangan, sekaligus ikut andil menjadi pematah harapan serta doa yang tidak terkabul.
"Dokter Ahn?"
Berhenti memerhatikan isi aula yang penuh sesak akibat duka, ia menoleh, segera mendapati rekan satu profesi. Kendati mereka menekuni jenis ilmu berbeda, tapi tetap, mereka sama-sama seseorang yang dipercaya mampu menyembuhkan penderita sakit.
"Kau belum mengganti baju operasimu?"
Ini sudah tujuh jam sejak Ha Joo meninggalkan kantin setelah meneguk teh. Katanya, ada jadwal operasi kraniotomi. Itu termasuk operasi bedah kepala besar, memang membutuhkan waktu lama, tapi tidak mungkin baru selesai sekarang.
Ahn Ha Joo menarik ujung bibir, otomatis si rekan tidak mendapat jawaban.
"Dokter Lim," panggil Ha Joo sesaat orang yang mengajaknya bicara hendak pergi. Mereka seumuran, tidak masalah meminta pendapat, pikir Ha Joo.
"Menurutmu, apa dokter sama dengan pembunuh?"
Lim Hyunsik, nama yang tersemat dalam kartu tanda pengenal, menjepit kantung bagian atas snelinya. Lambang segitiga menyerupai atap rumah dengan pagar tiga kepala begitu menonjol dibanding cetakan nama, mempertegas bahwa orang ini bagian dari rumah sakit Geum.
"Setiap kali ada pasienku meninggal, aku merasa seperti pembunuh. Cuma lebih halus dari pembunuh bayaran, dan lebih parah dari pelaku mutilasi."
Ada sebentuk lingkaran-lingkaran hitam yang menyapa indra penglihatan Hyunsik, berasal dari ruang duka. Seorang wanita paruh baya di dalam meraung, menciptakan warna hitam kian pekat menyapa pandangan Hyunsik.
Detik itu, Lim Hyunsik benar memahami kondisi Ahn Ha Joo. Kesimpulan yang diambil mengapa Ha Joo berada di depan pintu masuk aula, masih menggunakan seragam operasi, juga warna duka yang tidak enak terlihat.
"Jika tim medis adalah pembunuh, maka tidak akan ada sebutan dokter." Hyunsik menanggapi. "Dokter hanya berusaha, dan ketentuannya tetap kepada Tuhan. Itu yang disebut takdir. Dokter Ahn tenang saja, semua akan membaik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Lim Hyunsik [√]
FanfictionPernahkah, sekali saja di sudut malam kau berterima kasih atas segala usaha yang telah kau lakukan tiap hari? Paling tidak, setiap kau melakukan sesuatu yang terbaik, pernahkah kau berpikir betapa hebatnya dirimu? Lim Hyunsik tidak pernah tahu bahwa...