Bagian 11 | Tidak Seharusnya Kembali

105 12 20
                                    

Dia pernah bertanya, mengapa Tuhan menciptakan air mata? Jika Tuhan tidak menciptakan air mata, mungkin saja dalam dunia tidak akan ada kesedihan, bukan?

Lantas dirinya yang lain menjawab, jika Tuhan tidak memberi kita air mata, mungkin Tuhan juga tidak memberi kita hati, karena manusia ciptaan-Nya pasti takkan pernah merasa terluka atau bersedih. Itu juga berarti, tidak akan ada kegembiraan setelahnya.

Belum puas oleh jawaban dari diri sendiri, dia bertanya pada semesta, mengapa harus aku wahai alam semesta? Mengapa harus aku yang menderita?

"Kau terlalu mendalami peran, padahal kau hanya manusia rapuh."

"Mendalami peran? Apakah menurutmu aku berpura-pura? Aku sedang tidak berakting!"

Semesta tertawa terbahak atas teriakan itu. Salah paham ternyata, si manusia bodoh ini.

"Kau hidup, berarti kau sedang menjalani peran dari Tuhan. Kau adalah tokoh utama dalam hidupmu sendiri, tapi jangan terlalu mendalami peran sehingga sedikit-sedikit mengambek, sedikit-sedikit mengeluh. Sebagai pencipta dan penonton, Tuhan bosan melihat tingkah dramatikmu."

Semesta berkata panjang lebar, dan dia bertanya kembali, "Lantas apakah aku hanya tokoh antagonis, jika masuk ke dalam cerita kehidupan orang lain?"

"Tergantung, itu pilihanmu. Mau menjadi tokoh antagonis, atau tokoh pendukung yang baik? Itu mengapa, jika kau mengusik hidup orang, kau hanya akan terlihat jahat dan menyedihkan. Jadi, apa pilihanmu?"

Dia terdiam, terlihat memikirkan banyak hal meskipun jawabannya sederhana. "Aku ingin menjadi tokoh utama dalam hidupku saja. Aku akan melakukan yang terbaik untuk hidup dan diriku tanpa orang lain."

Tanpa orang lain? Semesta mengukir senyum sinis, kemudian berlalu meninggalkan manusia rapuh. Paling sebentar lagi dia kembali mengeluh, pikir semesta. Hei, apa jadinya hidup manusia kalau tidak berbenturan sama masalah manusia lain? Semestinya dia menjawab; aku akan melakukan yang terbaik untuk hidupku, dan menjadi tokoh pendukung yang baik untuk orang lain.

Lim Hyunsik menutup novel Menghadapi Hari Esok, setelah ujung kertasnya dilipat menyerupai segitiga. Tanpa terasa, dia telah membaca sampai pertengahan halaman. Hyunsik merenggangkan punggung sebentar sebelum pikirannya memutar kembali, saat adegan karakter dalam novel yang baru dirinya baca menangis tersedu-sedu.

Ah, Hyunsik selalu iri ketika mengetahui air mata bisa mengalir secara mudah, semisal air mata yang banyak keluar di aula duka. Dalam karakter novel Sangeum pun, mereka dapat menangis tanpa ada yang menghakimi, termasuk diri sendiri.

Kemudian pikiran Hyunsik teralihkan oleh anak tanpa nama yang bermain di halaman rumah sakit. Anak itu sungguh berani dan mandiri, Hyunsik jadi sedikit bangga kepadanya. Anak tanpa nama juga seperti tidak pernah kehabisan energi; sepulang dari toko alat musik, lalu bermain tanpa jeda selama Hyunsik menangani pasien dan menanggapi pertanyaan Sangeum yang sekarang tengah makan siang bersama Jimin.

"Tapi ini sudah terlalu lama," gumam Hyunsik, lantas ponselnya bergetar menandakan panggilan masuk.

Ibu. Nama kontak yang tertera membuat Hyunsik membuang napas pelan. Memejamkan mata sebentar, baru dia menerima telepon.

"Hyunsik...."

"Ya, Eomma?"

"Mengapa kau baru menerima telepon Ibu? Apakah pasien yang sakit mata selalu banyak, sehingga kau melupakan ibumu?"

"Tidak, Ibu, bukan begitu... aku hanya...."

Hanya apa?

Kau terlalu pengecut, Hyunsik.

Hai, Lim Hyunsik [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang