Bagian 06 | Sakit Kedaluwarsa

139 14 32
                                    

"Junsuk." Lee Na In menatap tegas si sulung. "Apa yang kau lakukan kepada adikmu?" Namun, tiada satu titik saja ketakutan dari sorot retinanya kendati nada bicara Na In tak kalah tegas. Bahkan mendengar suara tangis sang adik yang belum berhenti, tidak ada sekelumit rasa bersalah dalam hati Lim Junsuk.

Kelopak mata Hyunsik menutup rapat. Panas yang terasa masih betah bercokol, sehingga dia belum berani membuka indra penglihat. Air mata yang deras mengalir, menjadi harapan Hyunsik untuk keluar dari ketidaknyamanan; selain panas, ada rasa perih menusuk-nusuk.

Na In menyaksikan sendiri, apa yang telah anak pertamanya lakukan. Lim Junsuk memang nakal, tapi kejahilannya kali ini tidak bisa Na In toleransi. Apalagi jika mengingat bahwa Junsuk sudah menempuh tahun pertama pendidikan JHS, sementara adiknya baru masuk taman kanak-kanak. Semestinya Junsuk bisa lebih dewasa, tidak mengganggu Hyunsik berlebihan.

"Junsuk, Ibu tanya kepadamu, jawab pertanyaan Ibu." Nada itu masih sama, tapi Junsuk tetap tidak menggubris. Hanya duduk diam di sofa seberang seraya melempar tatapan mengejek kepada adiknya.

Pintu utama rumah terbuka, sang kepala keluarga melonggarkan dasi yang mencekiknya hampir seharian, tangan sebelah dipakai untuk menenteng tas kerja. Segera Junsuk beranjak dari sofa, mendekati laki-laki dewasa yang berjalan masuk.

"Ayaaah!"

"Junsukiee...." Geun Suk mengusap belakang kepala si sulung sebagai sapaan terhangat, lantas melanjutkan langkah arah Hyunsik dan Na In.

"Kenapa?"

Tidak perlu banyak kata memang, Na In mengerti meski pertanyaan suaminya amat singkat. "Junsuk meneteskan minyak angin pada mata Hyunsik yang sedang tidur."

"Ibu sudah tahu, tapi tadi terus-menerus bertanya kepadaku." Junsuk mengemukakan protes, cemberut di samping ayahnya.

"Ibu ingin kau mengatakannya langsung. Ibu juga mau tahu, kau jujur atau tidak. Minyak angin berbahaya bagi mata, bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk pada penglihatan adikmu?"

"Sudahlah," tukas Geun Suk, menghentikan intonasi menghakimi Na In. "Bukan masalah besar, kompres saja pakai air hangat. Hyunsik-ah, berhenti menangis. Masa cengeng begitu?"

Isak Hyunsik terhenti seketika. Matanya memang masih tertutup, tapi telinga tak pernah bisa menutup bila berkaitan oleh perintah sang ayah yang bersifat saklek.

Na In menarik pundak anak itu lebih merapat ke sisinya. Entah, Na In cuma mengikuti naluri untuk melindungi Hyunsik, merasa kalau saat ini si bungsu tengah terancam.

Geun Suk kembali mengayunkan kaki, kali ini menuju kamar, meninggalkan hening antara ibu dan kedua anaknya.

"Mau ke mana? Minta maaf, Lim Junsuk. Minta maaf lebih dulu kepada adikmu." Baru si sulung hendak pergi dari tempat, Na In memecahkan kebisuan.

"Adikku...." Langkah Junsuk sempat tertahan, dan menurutnya ini saat yang tepat berbicara lantang. Toh, ayahnya sudah pulang, beliau akan membelanya jika sewaktu-waktu Ibu marah.

"Karena dia adik, berarti Hyunsik paling kecil. Untuk apa minta maaf kepada orang yang lebih muda? Kata ayah, hanya ada dua jenis orang yang boleh kita ucapkan permintaan maaf. Satu, orang tua. Dua, orang terhormat sekaligus banyak uang. Adik tidak memenuhi kedua jenis itu." Junsuk kemudian benar pergi, usai mengatakan kalimat yang menurut Na In tidak pantas.

Lim Geun Suk, apa yang telah kau tanamkan kepada Junsuk?

Lee Na In tidak pernah paham, mengapa suaminya mengajarkan hal demikian. Tidak peduli muda atau tua, kaya atau miskin, bila kau melakukan kesalahan maka harus meminta maaf. Bahkan ketika kau tidak salah, meminta maaf bukan suatu beban yang akan membuatmu turun derajat, lebih-lebih kehilangan harga diri.

Hai, Lim Hyunsik [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang