Bagian 13 | Menyembuhkan Diri

74 10 19
                                    

"Dalam permainan petak umpet atau kejar-kejaran, aku tidak pernah mau jadi orang yang ‘jaga’. Saat harus bergiliran begitu, anak-anak pasti lari menjauh, dan aku merasa mereka meninggalkanku.

"Aku tahu, itu hanya perasaanku sendiri, tapi perasaan itu lebih kuat dari apa yang kupikirkan dengan otak. Saat aku jaga sebagai perampok yang mengejar saksi mata, saat aku harus menemukan mereka kala bermain petak umpet, seolah-olah... mereka melarikan diri, mereka sengaja bersembunyi dariku. Jujur saja, itu menyedihkan. Kupikir, apa yang kualami adalah hal yang juga dialami anak lain, tidak pernah terpikirkan olehku bahwa aku sakit."

Hyunsik melepas snelli yang membalut tubuh, kemudian menaruhnya di belakang kursi yang dia duduki. Hyunsik hanya merasa tidak bisa bernapas leluasa saja, padahal oksigen tidak pernah meninggalkannya—yah, selama tujuh puluh persen oksigen dari fitoplankton masih ada.

"Itu karena fisikmu baik-baik saja, kau masih bisa makan, tertawa, bahkan jalan tanpa kekurangan. Tidak ada yang tahu kau sakit dari dalam, apalagi kau sendiri mengira kalau kau baik-baik saja. Berpikir, tidak ada yang salah dari hidupmu, dari dirimu."

Hyunsik menggelengkan kepala, hanya untuk menggambarkan betapa tidak sangkanya dia.

Lebih tidak menyangka, menemukan Jimin yang ternyata seorang ahli jiwa, lalu sekarang dirinya duduk berhadapan Jimin sebagai pasien. Wah, catatan cerita Tuhan untuk kehidupan manusia memang semegah itu, dan dapat dengan mudah membuat manusia yang berperan dalam ceritanya jungkir balik.

"Mungkin juga... karena aku terlalu mengabaikan diriku sendiri. Ada hari saat diriku merasa kesakitan, tapi tidak tahu penyebabnya. Mungkin itu bagian dari luka yang kuabaikan. Dari sana, aku selalu mengingat yang buruk-buruk, entah tentang sikap, perlakuan orang lain kepadaku, atau kembali mengungkit masa lalu dalam pikiran." Sekali lagi, ada indikasi keterbukaan dari Hyunsik. Jimin senang mendengarnya, karena hanya ini yang bisa membantu Hyunsik; diri Hyunsik sendiri.

"Manusia memang mengukir keburukan di atas batu, maka dari itu meski banyak menyangkal, sebetulnya mereka tetap mengingat jelas keburukan yang diterima. Hyung pernah mendengar kisah pasir dan batu?" Jimin lebih mencondongkan dirinya kepada Hyunsik di hadapan. Ruangan Hyunsik menjadi tempat pribadi mereka untuk membicarakan hal personal.

"Makna yang diambil dari cerita itu, bahwa teman yang baik akan terus mengingat kebaikanmu, karena mereka akan mengukir kebaikan di atas batu, dan perlakuan jahatmu akan mudah hilang, sebab si teman mengukirnya di atas pasir.

"Tapi, apa iya selaras sama kenyataan? Sebaik-baiknya teman, mereka adalah manusia. Manusia telah terbiasa mengukir kebaikan di atas pasir dan kejahatan seseorang di atas batu. Kita tidak pernah tahu batas luka seseorang. Tergores sekali, mungkin bukan masalah. Bagaimana kalau berulang? Seseorang akan mengukir keburukan yang orang lain lakukan, bahkan kisahnya pada sebuah batu bernama ingatan jangka panjang."

Hyunsik masih menyimak dengan baik. Mereka benar-benar berdua, tidak ada anak tanpa nama, ataupun Kim Sangeum. Jika Sangeum sudah jelas sedang mengerjakan proyek karangan sastranya, Hyunsik tidak pernah bertemu anak tanpa nama lagi sejak dua hari lalu.

"Apalagi jika mulut dipakai senjata, pasti jelas akan tercipta kata, hari ini, temanku menyakitiku dengan mulutnya. Sebab amat mudah menyakiti hati manusia. Bukankah begitu? Jadi tidak apa-apa, jika sewaktu-waktu Hyunsik Hyung hanya mengingat yang buruk-buruk dari seseorang. Paling penting, kita sembuhkan dulu lukanya Hyunsik Hyung."

Park Jimin segera mengeluarkan selembar kertas putih dari tas serut yang selalu digunakannya. Di sini, bukan Hyunsik yang menjadi dokter, maka Jimin bebas melakukan apa pun.

"Sekarang, jawab pertanyaanku dengan tulisan. Tulis saja, apa yang Hyunsik Hyung rasa dan lain-lain atas pertanyaanku, sehingga kita bisa memulainya dari sana. Mengobati luka yang paling dalam lebih dulu."

Hai, Lim Hyunsik [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang