20.08 WIB - Dion Ezraputra meninggal.
"Pembunuh? Apa anda mencurigai kami?" tanya Xaverius. Ia mendekati laki-laki berambut hitam semiran itu. Aipda Arthur adalah orang tertinggi di tempat ini dan itu tidak menggentarkan Xaverius yang dahinya hanya sejajar dengan jakun sang polisi. Tangan laki-laki asal Flores ini mengepal. Mata dua orang ini bertemu. Yang menantang dengan yang tenang.
"Stop, Xav," cegat Ruben, "Kau tak boleh menyentuh polisi yang sedang bertugas. Ini bisa lebih parah lagi."
"Apa yang bisa lebih parah, Ruben? Lihat itu. Dion mati. Sekarang kita dituduh membunuh dia?"
Sandra meraung mendengar itu. Aipda Ester menyeberangi ruangan dan tiba di samping tubuh Dion.
"Permisi, mbak. Mohon maaf, boleh saya periksa kondisi masnya?" Tanpa persetujuan pun Ester memeriksa denyut di bagian leher Dion. Nihil. Namun, lehernya menegang ketika ia mendekatkan telinganya ke hidung laki-laki itu.
"Mohon maaf, mbak. Tolong bangun! Anda tidak boleh menyentuh jenazah korban pembunuhan," tangan Ester dengan cepat mencengkeram ketiak Sandra dan mengangkatnya berdiri menjauh dari tubuh Dion.
"Lepaskan saya!! Apa yang kamu lakukan?" berontak Sandra.
"Hei, hei, jangan begitu dong," tegur Ruben yang kini mendekati keduanya.
Tapi Ester justru menghentikan Ruben sambil melarangnya untuk menyentuh jenazah Dion atau tangan, pakaian dan wajah Sandra.
"Tolong jelaskan apa yang terjadi dengan teman saya!!" Ruben mulai geram.
"Sianida," Ester berdiri membelakangi Sandra, "Ini keracunan sianida. Jelas sekali dari bau almondnya."
Diana mendongak. Xaverius berbalik. Mulut Ruben menganga. Isak Sandra pun berhenti.
"Berapa lama sampai forensik sampai di sini?"
"Mereka sepuluh menit di belakang kita," jawab Arthur.
"OK. Kita bisa mulai interogasi dari sekarang," kata Ester.
"Tu, tu, tunggu sebentar. Interogasi? Jadi anda benar-benar berpikir salah satu di antara kami membunuh Dion? Sahabat kami sendiri."
"Ya," balas Ester tegas, "Mas..."
"Xaverius."
"Mas Xaverius, saya tahu betul sahabat anda sudah meninggal saat saya mengecek denyut di lehernya. Tapi, saat saya mengecek napasnya, saya tahu kalau dia dibunuh. Ada bau sianida di darahnya."
"Tapi, siapa yang bisa-bisanya membunuh Dion?"
"Jawaban untuk pertanyaanmu, Diana, ada di sana," Xaverius menunjuk sang pemilik warung kopi, "Siapa lagi kalau bukan dia? Dia yang membuat kopi untuk Dion."
"Eh, mas. Jangan sembarangan nuduh ya. Saya tidak jualan sianida di sini. Saya jualannya kopi."
"Mas Xaverius.."
"Pak Bayu bener kok, Xav," sambung Sandra. "Aku dan Dion minum kopi yang sama. Kita juga minumnya barengan kok. Pak dan Bu Polisi, kalau mau interogasi, cukup ke saya saja. Teman-teman saya tidak usah. Mereka gak nyentuh Dion."
"Sandra, kamu gak harus kok. Belum tentu ini bukan kita pelakunya," kata Diana.
"Makanya interogasi ini sangat penting dan sayang sekali, mbak Sandra. Penyelidikan kami akan jauh dari pada itu," balas Arthur. Ia melangkah ke tengah warung. "Jadi, siapa yang mau duluan?"
Xaverius mulai terisak.
"Ada apa, mas? Apa saya bilang sesuatu yang salah?"
"Pertanyaan bapak," jawab Ruben. "Kalau Dion masih di sini, pasti dia yang akan maju duluan."
Selama beberapa saat tidak ada yang berani bersuara hingga Ester berjalan menuju depan warung, "Gimana kalau yang laki-laki duluan? Siapa namamu?"
"Ruben."
"Mas Ruben bisa ikuti saya."
Ketika dua orang itu menghilang dari pandangan semua yang ada di dalam warung, suara sirine yang mendekat mulai terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuhan di Warung Kopi
Mystery / ThrillerSemua dimulai ketika seorang laki-laki bernama Dion mengalami sesak napas dan pusing. Sandra, sang pacar yang kala itu sedang duduk di hadapan Dion bersaksi kalau pacarnya baik-baik saja ketika mereka tiba di warung kopi ini. Keduanya sama-sama mem...