Sama tapi Berbeda

1 0 0
                                    

Pukul 21.08 WIB. Satu jam setelah kematian Dion Erzaputra. Jenazah Dion sudah dibawa dengan ambulans. Beberapa tim forensik masih berada di warung. Atas perintah Lopika, semua barang pribadi milik para suspect harus ditunjukkan.

"Bagaimana?" tanya Arthur saat Ester kembali dari luar.

"Aku punya firasat salah satu dari mereka berbohong. Pelaku sangat pintar. Dia sengaja membingkai Sandra agar orang lain pikir dia yang membunuh Dion."

"Kau tidak sepenuhnya salah," ujar Arthur.

"Sekarang aku benar-benar berharap kau bisa menunjuk si pembunuh yang sebenarnya," kata Ester.

"Kau tahu peraturannya, Ester. Lagipula tidak akan ada yang percaya dengan analisaku. Akan sangat aneh kalau aku yang membongkar semuanya, sementara kau yang menginterogasi mereka semua."

"Aku tahu dia ada di sini," Ester mengamati laki-laki dan perempuan yang sudah ia korek isi kepalanya selama tiga puluh menit terakhir. Pelototan mata Xaverius dibalas setimpal oleh Lopika saat ia memaksa mereka menaruh semua barang pribadi mereka di sebuah meja.

"Sial, semua pernyataan mereka seakan saling melengkapi. Seakan mereka sudah merencanakan jawabannya. Tunggu sebentar... apa mungkin..."

"Tidak, Ester. Pembunuhnya cuma satu orang. Coba kau lihat di sana."

Sang Polwan Penyidik melemparkan pandangan ke arah Lopika dan Xaverius.

"Oh, aku punya ini juga," celetuk Lopika dengan bersemangat. Ia menunjuk sebotol parfum dengan kaca berwarna merah muda, "La Vie En Rose, bukan? Aneh sekali melihat laki-laki memakai parfum ini."

Mata Ester membelalak. Tubuhnya bergetar.

"Sudah?" tanya Arthur.

Ester mengangguk dengan semangat. "Telepon kantor sekarang," ia tersenyum. Ia berjalan ke arah Lopika dan Xaverius. "Mas Xaverius, boleh bicara sebentar?"

Pembunuhan di Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang