Pengakuan

1 0 0
                                    


"Apa?" lengkingkan suara Lopika memantul ke setiap sisi warung ini. "Ester sudah tahu siapa pembunuhnya?"

"Apa benar, bu Polwan?" tanya Xaverius.

"Siapa?" Sandra tidak sabar.

"Mohon tenang, mas dan mbak," ujar Arthur, "Aipda Ester akan memberitahu kalian siapa yang membunuh mendiang Dion. Tapi, sebelumnya saya sudah meminta tolong Pak Bayu untuk membantu."

Sang pemilik warung muncul dari balik tempat penyeduhan kopi dan dia membawa tujuh cangkir yang mengepulkan asap tipis.

"White coffee? Anda pasti bercanda, pak. Minuman itu membunuh Dion," seru Xaverius.

"Alasan saya meminta pak Bayu membuatkan kita semua white coffee adalah..." Arthur mengambil satu cangkir dari nampan yang dipegang Bayu dan segera menyruput kopi itu. Mereka semua pun berteriak histeris, apalagi Lopika.

"Aduh, pak. Sudah cukup satu orang meninggal di warung saya. Saya nggak mau ada korban tambahan. Polisi lagi," Bayu memelas.

"Almarhum Dion tidak meninggal karena kopi buatan pak Bayu!" kata Ester tiba-tiba, "Racun itu sudah ada di bibir Dion sejak awal."

Para sahabat Dion menegang.

"Benar kan?" lanjut Ester, "Mbak Diana."

"Tidak mungkin," ujar Ruben.

"Diana? Jangan bercanda, bu Polwan," dukung Xaverius.

"Dia bahkan tidak bertemu Dion hari ini," sambung Sandra, "Iya, kan, Diana?"

Teman mereka itu tersenyum. "Ya. Bagaimana bisa aku membunuh Dion? Aku tidak bertemu dengannya, apalagi menyentuh dia."

"Tentu bisa dengan ini," Ester mengangkat sebotol La Vie En Rose.

"Parfum?" kata Lopika, "Aipda Ester, saya sudah pakai parfum itu bertahun-tahun. Kalau ada kandungan sianida di dalamnya, saya pasti tidak ada di sini."

"Benar sekali, bu Lopika. Memang tidak ada kandungan sianida di dalamnya," balas Ester.

"Aku juga punya parfum itu," seru Sandra, "Aku membelinya kemarin di Department Sto...." Ia kembali menunjukkan ekspresi yang sama saat dia tahu kalau dia juga meminum kopi milik Dion saat diinterogasi oleh Ester. Sandra kemudian menoleh ke arah Diana.

"Ya. Sesuai yang dikatakan mbak Diana sendiri. Ia memang tidak bertemu almarhum mas Dion hari ini. Tapi dia bertemu mbak Sandra kemarin di Department Store. Saat itu mbak Sandra akan membeli parfum. Sebagai pegawai di tempat itu, akan sangat mudah bagi mbak Diana untuk mengetahui jenis parfum yang dibeli mbak Sandra. Jadi, dia membeli parfum yang sama lalu mengganti isinya dengan sianida."

"Sebentar..sebentar," sela Sandra, "Saya pakai parfum itu pagi ini. Wanginya seperti wangi parfum biasa. Katanya Sianida itu baunya seperti almond kan?"

"Betul. Tapi, bagaimana kalau parfum itu ditukar saat di mall? Yang perlu mbak Diana lakukan adalah memastikan ketika mbak Sandra memasuki mall, parfum yang ia bawa sudah diganti dengan sianida. Mas Ruben, saya ingin bertanya. Jika mas suatu kali bertemu seseorang dan badan orang itu harum. Apa yang akan mas Ruben lakukan?"

"Saya akan bertanya parfum apa yang dia pakai," jawab Ruben kebingungan.

"Terima kasih. Tepat sekali. Apalagi kalau itu adalah pacar anda. Almarhum mas Dion pasti akan penasaran dengan parfum yang dipakai mbak Sandra. Apalagi kalau itu parfum baru. Ini keuntungan bagi mbak Diana karena dia sudah mengganti parfum itu sebelumnya. Bagaimana, mbak Sandra, teringat sesuatu?"

"Ya...." Dahi Sandra mengernyit, "Dion memang penasaran dengan parfum saya ketika saya masuk ke store furniture itu. Tunggu sebentar.. pegawai perempuan itu. Aku sempat bertabrakan dengan dia ketika berpisah dengan Dion di dalam store."

"Yang perlu dilakukan mbak Diana adalah memastikan mas Dion menyemprotkan sianida ke bajunya. Setelah itu menggantinya dengan parfum yang asli."

"Ini tidak mungkin dilakukan. Diana pasti akan sangat mencolok berada di toko furniture itu. Seragam department store berbeda dengan toko itu. Aku tahu itu," ujar Xaverius. "Kecuali...."

"Terima kasih, mas. Betul sekali. Mbak Diana menyamar menjadi pegawai toko furniture itu. Saat mas Xaverius berpikir mbak Diana sedang datang bulan karena dimarahi dari dalam toilet toko, sebenarnya dia sedang menyembunyikan seragam toko furniture. Mbak Sandra sebelumnya juga bilang almarhum mas Dion kehilangan air mineralnya bukan?"

"Iya," jawab Sandra.

"Kemudian, apa yang mbak lakukan?"

"Botol air itu terhalang barang-barang lain di dalam tas. Saya hampir mengeluarkan semua isi tas saya, termasuk parfum itu."

"Kau menaruh botol air di dalam tas? Gak takut tumpah?" tanya Lopika.

"Itu kebiasaanya," balas Ruben. "Dion dan saya selalu menegurnya."

"Saya juga tahu ini ketika kalian semua diminta menunjukkan barang pribadi masing-masing," lanjut Ester, "Saya tidak tahu memang kebiasaan mas Dion menghilangkan air mineral, atau memang ini taktik mbak Diana untuk kembali bisa menukar sianida itu dengan parfum yang...."

"Taktik? Menyamar?" kata Diana, matanya sudah dibanjiri air mata, "Jangan sembarangan!!! Dion itu sahabat saya! Saya tidak mungkin membunuh dia. Selain itu, apa anda punya bukti, bu?"

"Maksud anda ini?" Ester mengeluarkan botol La Vie En Rose kedua. Diana membatu.

"Ini milik mbak Diana, betul mas Xaverius?"

Xaverius menghela napas. "Saya melihat Diana meninggalkan parfum ini di Department Store saat kami akan ke warung ini. Saya pikir dia lupa. Makanya saya bawa botol itu ke sini. Tapi, mohon maaf bu Polwan. Dion tidak mungkin mengolesi parfum itu ke mulutnya, kan?"

"Saya baru saja akan ke bagian itu. Kembali lagi pertanyaan untuk mas Xaverius. Kalau bibir anda basah, entah karena keringat atau air, sementara tidak ada tisu atau sapu tangan di sekitar, apa yang akan anda lakukan?"

Xaverius mengangkat bagian dada dari bajunya lalu mengelap mulutnya sendiri. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan, "Kami berdua, Dion dan saya, punya cara yang sama. Ini sejak kami masih di Flores."

"Diana.." sahut Sandra, "Apa ini sungguhan?"

"Diam kau jalang!!!" pekik Diana, "Seharusnya kau yang mati bukan Dion!!"

Bahkan mulut Lopika menganga. Ini bukan ilusi, ataupun khayalan.

"Aku selalu mencintai Dion. Sejak kuliah. Dia sangat baik, begitu perhatian. Tapi dia lebih memilih kau. Dasar Pelacur!!" Diana meludahi wajah Sandra, "Lalu apa yang kau lakukan padanya? Hah? Apa? Kau berselingkuh dengan Ruben. Kau menyakiti Dion!!"

"Demi Tuhan, Diana. Apa kau tidak tahu apa yang Dion lakukan? Kau seharusnya bersyukur bukan kau yang jadi pacarnya," balas Sandra.

"Ya. Tapi aku jadi sahabat yang lebih baik bagi Di..."

"Berhenti berbicara omong kosong, mbak Diana!!" hardik Ester, "Sahabat? Saya sudah muak dengan kata itu. Apapun yang terjadi seseorang tidak akan membunuh sahabatnya sendiri. Tapi, apa yang kalian lakukan? Saat interogasi kalian semua...."

"Sudah bekerja sama dengan sangat baik," potong Arthur, "Polisi sudah menggeledah toilet Department Store. Di sana ada seragam yang dimaksud Aipda Ester. Hasil otopsi juga sudah keluar. Terdapat sianida di lambung korban. Kopi memang membantu lambung bereaksi lebih cepat. Mbak Diana, apakah anda mengaku sebagai pembunuh almarhum Dion Erzaputra?"

"Seharusnya waktu itu saya bisa membawa Dion pergi. Waktu itu ketika kami bertemu di toko itu. Dia tahu itu saya. Dia tahu.."

"Diana Sudjatmiko, anda ditahan dengan delik pidana pembunuhan berencana!" ucap Arthur tegas.

Pembunuhan di Warung KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang