Dikelilingi empat temannya, Roma menekuk wajah. Bibir tipisnya membentuk oval karena dimonyongkan. Masker yang tadi menutupi hidungnya kini telah bertengger di dagu, panas. Raka yang melihat tingkah temannya itu menggelengkan kepala, lalu menyodok Rei yang duduk di sampingnya dengan siku, “Bujuk tuh bocah.”
Rei yang sibuk membaca buku hanya melirik sejenak dan ikut menggeleng. “Paling urusan cewek. Ga penting banget.” Ucap Raihan sambil membalik lembar buku ke halaman selanjutnya.
Sedang dua teman lain tertawa, “Rei anti cewek, Rak. Dia ga tepat buat urusan ginian.” Sela Rayan. Disahut Riyan dengan anggukan, “Betul.. betul.. mending lo nanya ke kita aja.” Pluk.. Tangan Raka ringan menimpuk dua kembar itu dengan kamus bahasa inggris.“Boro-boro nanya kalian berdua. Dideketin cewe aja kalian pada lari.”
Sudah rahasia umum, meski terlahir tampan dengan wajah seperdelapan arab. Rayan Riyan penakut dengan wanita. Jadi tidak ada satu cewek-pun yang berani mendekati mereka, sudah jelas kalau ini ‘putus sebelum dikejar’.
Padahal alasannya sepele, ketika kecil Riyan pernah dikejar induk ayam sampai menangis karena menculik seekor anak berbulu coklat. Sejak itu ia memiliki prinsip bahwa ‘betina itu jahat’. Sedangkan ia melupakan fakta kekejamannya meremas anak ayam itu karena gemas. Rayan? Dia ikutan sebagai solidaritas anak kembar. Hanya karena tidak ingin Riyan takut wanita sendirian dan alasan ini cuma diketahui oleh mereka berlima tanpa berniat mengungkitnya ke publik.“Udah gue bilang, cewek itu ga penting. Sekarang yang penting lo belajar. Jadi kaya terus cari istri yang matre biar bisa ngidupin dia.” Sekarang giliran Rei yang ditimpuk keras oleh Raka. “Idup lo tuh benerin dulu. Tipe cewe lo tuh ga pernah bener emang.”
Mata Rei menyipit sengit, “Jadi gue salah?” Tatapan yang justru membuat Raka tergagap. Ia lupa prinsip cowok itu, ‘Raihan tidak pernah salah, yang salah wanita’.
Romario menghela nafas menyudahi kejelekan wajahnya yang memang dijelekin juga susah jelek kecuali pakai aplikasi. “Kalian ga ada yang bener.”
“Tuuuh..” sahut Rayan Riyan. “Kalian berdua juga. Kembar, tapi ga becus urusan cewe.” Sungut Roma lalu menarik maskernya. “Udah ah. Aku mau balik dulu. Mau semedi mikirin strategi deketin Athena. Bai~”
Kemarin...
“Jadi ngapain kamu kesini?” Athena menatapnya dengan memicing tajam, menyelidiki apapun yang kiranya ia sembunyikan. Roma menduga Athena mencurigainya menyimpan semprotan serangga di punggungnya, gerak gerik gadis itu terlalu jelas. Padahal bukan itu yang ingin ia katakan. “Jadi guru lesku,Ten.” Ucapku akhirnya.
Sekarang Athena terlihat rileks, tentu saja khayalannya tidak terbukti. Roma tidak sebiadab itu untuk menyembunyikan racun serangga. Lagipula racun serangga hanya digunakan disaat genting, ketika gadis itu disumpah menjadi kutu karena durhaka misalnya.“Nilaiku kecil. Pak Budi suruh—” Belum sempat ia menjelaskan,
“Nggak mau.”
“Ta-Tapi Pak Budi bilang—”
“Cari orang lain sana! Yang ranking 2 tuh temen kamu. Siapa namanya? Raka?”
“Tapi amanah Pak Budi—”
“Nana bilang ga mau, ya ga mau. Jangan dipaksa.” Sekarang kakaknya Athena ikut-ikutan adu mulut mereka. Ternyata kakaknya sudah membuatkan teh untuk Roma. “Minum! Habis itu langsung pergi.” Perintah si kakak galak. Mau tak mau ia menurut.
Athena yang tadi duduk dengan mata melotot sekarang melempar pandangan dengan tatapan sebal. Apa salahnya? Dia kan cuma minta buat diajarin sesuai amanah Pak Budi. Kalau ga amanah, kata ibunya dia bisa dihukum di neraka dan Roma tidak ingin masuk neraka.
Perlahan Roma mengangkat gelas dan menyesapnya. Sedetik wajah oppanya berubah dari merah ke ungu, “Aaa...” Lidahnya terjulur.“Aaaassssiiiin... Nas. Ya Allah panas. Peh.. peh...”
“Ga sopan, Udah kakak bikinin teh malah disembur.” Sekarang kakaknya Athena bersungut. Mata Roma mendelik, ternyata kelakuan kakak-adik memang tak jauh beda, memang bener kata pepatah ‘buah busuk kalau jatuh ga jauh dari pohonnya’.
Roma sontak berdiri dan berkacak pinggang di depan kakak Athena. Tinggi mereka tidak jauh beda, Roma hanya lebih tinggi sekian senti. Matanya mendelik dan menyelidik. “Ooooh, jadi kalian ber-‘kontrasepsi’ buat ngusir aku ya?!”
Kakak Athena terlihat tidak mau kalah, Tangannya juga berkacak dipinggang dan menatap Roma dengan pandangan sengit, “Siapa yang pake kontrasepsi, hah?! Kami bukan ‘Keluarga Bahagia’.”
“Keluarga bahagia apa? Itu kakak sengaja kan bikin teh pakai garam buat ngusir aku? Aku yakin ini idenya Antena. Jelas-jelas aku anjing bukan ular!” Sungut Roma meledak-ledak. Athena yang sedari tadi diam mulai memahami kesalahan percakapan dua orang gila ini. “Tunggu, Mungkin Roma kelapa mau bilang ‘konspirasi’?!” dan mungkin kakaknya mengira keluarga berencana sebagai ‘Keluarga Bahagia’. Athena meletakkan tangan di dahinya yang berdenyut.
“Ah iya itu! Maksudku kalian ber-konstrapsi buat ngerjain aku.”
“Konspirasi, Ma.”
“Konspitrasi?”
“Kons-pi-ra-si” Eja Athena dengan sabar. “Nana! Usir cowok tukang fitnah ini keluar. Kakak ga suka.” Sela Alaska. “Aku ga fitnah ya! Buktinya itu teh asin banget!”
“Ya kan tehnya pake garam ya jelas asin. Gimana kamu ini, pasti anak IPS ya? NaOH ditambah HCl jadi garam dapur dan uap air. Ditambah air jadi terlarut rasanya jadi asin.”
“Tuh, kan. Kakak sengaja pakai garam. Sengaja buat racunin aku?!” Tensi Roma rasanya melonjak hingga ubun-ubun.
“Stooop! Kak, Roma bener.” Athena berusaha menengahi. Mendengar ia dibela, Roma berseru, “Ngaku aja, kak. Adik kakak aja bilang bener.”
Kali ini Athena melotot gemas. “Sini aku jelasin. Bener kalau tehnya asin. Cuma, ga bener kalo kakakku mau racunin kamu. Kak Alaska itu kalau bikin teh emang pakai garam soalnya ga suka manis. Tapi aku ga tau kalau buat tamu juga harus pakai garam. Lagian salah kamu, kalau kamu ga ikut campur soal mandi ku, ga bakal tuh cewe kecentilan sok-sok mau mandiin aku sampai basah kuyup. Ga perlu kamu nyusul sampe rumah, ketemu Kak Alaska terus dibuatin teh asin.” Kata Athena sambil bersungut kesal. Semua keluh-kesahnya yang terpendam selama delapan bulan keluar saat itu juga.
“Jadi kesimpulannya. Aku ga mau ketemu kamu lagi!”
Mata Roma menatap Athena tak percaya, “Ta-Tapi aku Tu-Tutor yang di itu Pak Budi.” Kebingungan jelas terpancar di wajahnya. “Ngga. Bilang sama Pak Budi aku nolak!” Sahut Athena tegas. “Karena aku pernah bilang kamu ga mandi?” Mata Roma menyelidik. “Salah satunya.”
Roma terdiam, jadi semua ini salahnya. Coba hari itu dia tidak menyadari kalau Athena tidak mandi, mungkin hari ini gadis itu tidak akan menolaknya. Ia menyesal, tapi terlambat satu sekolah sudah tau Athena tidak mandi. Mungkin kalau satu sekolah berhenti menggosipkan Athena tidak mandi, gadis itu akan menerimanya. Ya, Roma punya ide sekarang.
Kembali ke masa sekarang dengan wajah Roma yang sayu karena dimarahi Athena. Sepertinya ia selalu salah dimata gadis itu. Meminta pendapat temannya juga berujung dengan ‘tidak ada solusi’.
Roma menghela nafas, dari kursinya ia melirik bangku di belakangnya itu kursi milik Athena. Gadis itu sekarang sedang menutup wajahnya menggunakan lengan, tidur dengan nyenyak, semilir angin menyapu rambut merahnya lembut. Baru kali ini Roma menyadari, Cahanya matahari menyatu dengan warna rambut gadis itu, cantik.
“Semua kembali ke tempat duduknya!” Suara Pak Rangkuti, guru matematika menyela pandangan Roma. Dari ujung matanya ia sempat melirik Athena mengucek matanya yang masih mengantuk. Sekarang bagaimana caranya agar gadis itu bisa menerimanya sebagai murid. Roma harus berfikir.
Ah, dia ingat Gadis itu punya teman bakso yang bisa ia tanyai. Temannya itu pasti tau apa yang disukai Athena, Roma akan membujuknya.
.
.
.
tbc (01/01/2021)
KAMU SEDANG MEMBACA
dari Roma untuk Athena
Teen FictionRoma ganteng kayak oppa korea, Athena cantiknya kayak nenek sihir. Roma bersih, Athena jorok. Roma benci bau, Athena ga suka mandi. Roma bodoh, Athena pintar. Mereka berlawanan, saling membenci dan kemudian tidak berharap jadi cinta. Tapi semua beru...