[LIMA]

15 6 2
                                    

Romario PoV

Aku mendesah, melirik tas yang kini kupeluk. Tidak ada bau bau aneh yang menguar seperti pemiliknya. Sedang di sebelahku sekarang ada gadis yang aku lupa namanya sedang menatapku dengan cengiran lebarnya. "Katanya Athena ada di rumah." Katanya. Lihat pipi bulatnya itu sekarang sudah seperti bakso yang siap diletuskan.

Kalau saja aku sedikit normal mungkin aku juga akan tertarik pada senyum cerahnya seperti beberapa orang temanku yang kerap menyebut sahabat Athena ini. Tapi menurut teman-temanku aku sulit disebut normal. Selain mereka yang sulit tertarik padaku karena mulut 'anjing', aku juga tidak tertarik dengan bau badan mereka.

Namun alasanku bersama sahabat Athena 'yang kulupa namanya' sepulang sekolah hari ini bukan untuk berkencan. Melainkan mengunjungi rumah Athena yang seharusnya jadi daftar keinginan paling akhir dalam hidupku.

"Nilaimu terlalu rendah. Jika begini terus kamu akan tinggal kelas." Itu tadi kata kata Pak Budi yang tiba tiba memanggilku seusai istirahat. Bukan salahku nilaiku kecil, hanya saja kata ibuku kita harus rajin bersukur dengan pemberian tuhan dan ciptaan tuhan tidak boleh dirubah. Entah kebetulan apa tuhan memberikan otak kepadaku dengan bentuk kecil sehingga nilaiku ikut kecil. Jadi aku tidak berniat membesarkan otakku karena sesuai pesan ibu, itu tanda aku tidak bersukur.

Tapi, sepintar-pintarnya aku memberikan alasan kepada Pak Budi yang namanya sudah kusebut sejak belajar membaca ketika kelas 1 SD bersama Ibu Budi dan Adik Budi, Pak tua itu tetap kekeuh dengan pendiriannya sampai kemudian terdengar suara petir bergema. Saat itu memang tiba-tiba saja hujan turun, bukan sebuah backsound yang ku karang sendiri.

"Kamu harus belajar dengan Athena."

***

Athena PoV

Apa apaan dia? Aku merutuk dalam hati. Lihatlah, pria yang dikatakan mirip oppa korea itu sedang duduk di sofa seberangku dengan tatapan tak barsalah. Padahal kejadian penindasan disekolah hari ini adalah buah dari perbuatan terkutuknya yang dulu tiba tiba mengumumkan ketidakmandianku di depan umum. Sungguh tidak bermoral mulutnya.

"Kenapa kamu kesini?" Tanyaku sambil menyilangkan tangan dan kaki secara bersamaan. Sedang rambutku yang sepanjang pinggang kubiarkan terus meneteskan air sisa keramas. Aku terlalu malas untuk mengeringkannya.

"Kamu bisa mandi?"

Lihatlah tatapan tidak percayanya itu. Apa aku, Athena yang terkenal anti air tidak bisa mandi? Ku tekankan sekali lagi 'aku tidak akan PDKT dengan air karena bukan tipeku' yang bermakna aku masih bisa mandi. Tapi kemudian ekspresi Roma berubah menjadi aneh seolah menunjukkan ia takut, entah apa yang dipikirannya saat ini. Matanya menatap lurus kearah sisi kiriku. Alisku terkernyit mengikuti arah pandangnya dan sedetik kemudian memahami ekspresinya.

Aku mendesah, ternyata Kak Alaska yang diam diam mengintip disebalik sofa. Pantas saja oppa palsu itu ketakutan, ada sepasang mata yang menatapnya dengan tatapan melotot.

"Kakak kurang kerjaan, ya? Mending kakak cuci piring, ngepel atau apapun itu 'deh daripada nakutin tamuku." Sungutku.

"Tapi ada cowok asing masuk kerumah ini. Kakak harus jagain Nana." Kak Alaska membusungkan dadanya kehadapan Roma. Tingkahnya yang justru membuatku menutup wajahku. Aku bisa paham kenapa gadis yang ia sukai langsung menolak mentah-mentah pernyataan cintanya.

"Dia teman sekelasku."

Kak Alaska sekarang balik menatap wajahku, apalagi yang akan ia katakan? "Tapi temannya Nana 'kan Yuan."

"Dia temanku yang lain, kak." Sungutku gemas.

"Iya, kakak Nana. Aku Romario teman sekelas Antena Tipi." Mataku melotot ke Roma, TUAN ROMA KELAPA YANG TERHORMAT NAMAKU ATHENA, dan Kak Alaska tidak kenal Antena tipi.

"Antena Tipi itu Nana ya? Oh, kamu duduk dulu biar kakak buatkan teh." Gila gila gila. Mendadak aku merasa ikut gila di tengah mereka. Kenapa para pria di sekitarku tidak ada yang normal. Bahkan kakakku sendiri.

.

.

.

.

tbc
(20/05/2020)


dari Roma untuk AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang