8 - Run!

462 123 30
                                    



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




TATKALA seriak darah yang menyiprat pada gegana, lantas berdentang bersama semilir malam, jatuh memeluk darat dari dada seorang pemuda di pesisir laut. Peluru yang Iris tarik sungguhlah bagai eminensi sesungguhnya guna memekakkan gendang telinga, bagai jeritan Para rejam pada abad terdahulu. Sebab suara itu, merangkap dalam rungu, bersama dengan seorang lelaki yang menutup sebilah lubang pada dadanya. 

Pada pelupuk pandang El, Jo terjatuh. Bersama bercak kemerahan yang melebar, dan meluas pada area dada.


Johnny... telah tertembak.


"JOHNNY!" maka gadis itu beringsut kepada Jo, meski skeptis meracau pada benak. Demi tuhan, El berusaha merajut sebilah apkiran yang tak henti menjeritkan duga, bahwa Jo telah—tidak, tidak. 

Tidak mungkin. 


El mendekatkan tendas sembabnya kembali kepada dada Sang lelaki, mencerca celah sebuah detak lemah yang bernaung dibalik tulang dan kulit si adam. Mengintip secercah harapan bahwa si lelaki belum mati. Kemudian, hembusan nafas lega lantas menguar.


Jo masih hidup.


Maka hendaklah genderang lapang di dada bersorak sorai. Meski tak lama kemudian El kembali melempar sengat dalam pandang kepada Iris di belakangnya. 

"Kau... bajingan...." desisan itu berdansa pada lantai di udara, merangkap dalam rungu si lawan bicara. Naif, namun sungguh El dapat melihat sebilah rahasia yang terkatup rapat dalam pandang si lawan. Iris tersenyum. "Iya, aku memang bajingan. Lalu kenapa?"

".......Aku tahu kau tidak bermaksud mengatakan itu." El masih menepis tumpahan kalimat yang lawannya lontarkan. Sebab persis yang gadis itu tahu, bahwa Iris... hanyalah gadis lugu nan polos. Benak gadis itu mengalami alternasi dilema. Benci, namun ia yakin, dengan sebilah duga bahwa Iris hanya terpaksa melakukan ini semua.


"Tidak, aku sungguhan bermaksud." Iris menyanggah.


"Bohong."



Hanya kalimat itu yang mampu terucap dari sebilah ranum pucat milik El. Selaut derita dan jerit bisu yang melaung agaknya dapat kau pandang lekat melalui tatap amber kepunyaannya—sekaligus permana, sarat oleh nafsu membunuh yang tertuju pada manik kembar milik Iris. Lantas udara malam beralih nyenyat, larut bersama denting ombak yang berdebur.

Namun agaknya... segepok darah barangkali tidak berhenti menetes sampai di sini saja. Sebab lengan itu, kembali terangkat pada teritori udara, membidik tubuh El pada kali yang kedua bersama alat pembunuh berlogam di tangannya.

HydraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang