"Maaf aku mengatakan ini, tapi—kau gila!"
Berperawakan mungil dengan tinggi hanya sebatas telinga dari lawan bicara didapannya, gadis ini mendudukkan tubuhnya pada sofa ruang tengah, ia menggeleng beberapa kali,
"Mean juga P'Proy akan bertunangan dalam kurun waktu 2 minggu dan kau?" Tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai sesuatu—yang—rumit menurutnya tersebut, ia hanya mampu menatap pada kawan-nya itu takjub. Ia meraih kaleng soda diatas meja dan meneguknya sampai setengah habis.
"Berkencan dengan Mean?"
Lemon, gadis—yang—takjub tersebut menghela satu hitungan nafas panjang, "Kau sudah gila, Plan Rathavit, sungguh!"
Pria yang tak juga terlalu besar dari Lemon tersebut, bergerak pelan. Ia ikut terduduk pada salah satu sofa, lalu menghela nafas berat disana. Sama hal-nya dengan sang sahabat, perasaan pria ini tak kalah kalutnya bahkan melebihi kekhawatiran yang Lemon rasakan. Itu membuat luka dan sialnya yang dapat Plan lakukan hanya bertahan dengan ego-nya.
Lemon, menatap sayup sosok dihadapannya, "Kau tidak sehebat itu, Plan." ia memberi jeda, "Aku mengenalmu sejak sekolah menengah, dan kau menggodaku dengan hal konyol seperti ini?"
"Hm, mungkin?"
Lemon, gadis tersebut, terkepal erat, dengan sisa kesabaran yang untung saja masih dimilikinya, Lemon kembali menyahut,
"Fine!" Ia beranjak berdiri, "Aku tidak perduli. Entah itu selingkuhan, atau kekasih gelap, aku hanya akan berpura-pura tidak mendengar hal yang baru saja kau katakan!"
Plan, pria mungil yang hanya bungkam sejak tadi. Ia beranjak, "Lalu harus bagaimana? Tidak perduli aku berakhir pada pilihan manapun, bukankah Mean tetap menikahi kakakku?!"
Lemon berbalik, "Karna kau tidak per—"
"Aku tidak memiliki pilihan sejak awal, Ley!" Plan tertunduk, "Kau tidak bertanya bagaimana rasanya, bukan? Yang kau lakukan hanya mencaciku sejak pagi," lanjutnya, "Aku masih memiliki hati tidak perduli seberapa jalangnya aku dimata banyak orang!" Demikian dengan diiringi langkah balik miliknya.
Lemon terdiam beberapa saat, tubuhnya lunglai hingga menyatu dengan ubin ruang tengah, ia mengusap keningnya gusar, nafasnya tersengal untuk beberapa percakapan rumit. Aku akan baik-baik saja, jika P'Proy bukan kakak kandungmu, P'Plan.
***
"Plan, keluarlah sebentar. Setidaknya biarkan aku melihatmu makan." Lemon tertunduk lemas, ia masih dengan apron juga celemek pada tubuhnya, usaha dalam membuat Plan keluar dari dalam kamarnya tidak semudah biasanya. Setelah percakapan yang kurang mengenakkan antara keduanya, Plan benar-benar tak menyentuh makanan yang sengaja Lemon tinggalkan untuknya. Ia bahkan tak keluar kamar sejak kemarin.
"P'Plan, hentikan ini." Lirihnya. Ia membuang nafas pelan, "Maaf."
Lemon terpejam pelan, kembali mengambil nafas dalam-dalam, "Dengan mengubah marga milik ayah-mu yang kau pakai, dan menjadi marga milik mendiang ibumu, kau masih dan akan tetap memiliki darah yang sama dengan P'Proy" ia berhenti sesaat, "Kumohon, Phi..."
Gadis tersebut untuk kesekian kali membuang atau menghela nafas panjang hanya untuk berbicara dengan sosok rapuh didalam, ia tertunduk,
"Aku meninggalkan makanan didapur, panaskan dulu sebelum kau makan, aku juga menyiapkan teh jahe untukmu, kau harus meminumnya! Aku akan kembali setelah pekerjaan paruh waktuku selesai"
***
Plan berjalan pelan menuju counter dapur. Sesaat pandangannya tertuju pada beberapa hidangan sederhana yang mulai dingin, ia mendesah pelan, dia hanya membuang-buang bahan makanan. Gumamnya demikian. Ia melanjutkan langkahnya, menuju almari pendingin pada sudut dapur dan hanya mengambil beberapa lembar roti tawar dengan keju.
Klik.
Plan terhenyak sebelum berpaling, meletakkan makanannya dan beranjak, ia menyaksikan digit angka yang menunjukkan pukul 10 malam, ia terheran. Lemon pulang pukul 12 malam pada hari sabtu. Plan menggidikkan bahunya, berlari kecil keluar dapur dan mencoba meraih pintu utama.
Mean.
Ia menghentikkan laju langkahnya, disaat pria yang sempat menjadi alasan perseteruan antara Lemon dengan dirinya kemarin, tengah berdiri dihadapannya dengan senyum yang beberapa hari tak dilihatnya tersebut.
"Kau terbangun jam 10 malam lagi, dan tengah mencari roti tawar dengan keju, bukan?"
Plan terdiam untuk beberapa saat, ia mengangguk sebagai jawaban.
"Kurangi kebiasaan burukmu, Plan. Sungguh!" Mean tertawa kecil, melangkah maju dan berakhir dengan menghambur mendekap pelan pria didepannya.
Plan terejam pelan, ia tersenyum, "Kau tidak harus datang,"
Mean tertawa, lagi. "Aku merindukanmu." Lirihnya dengan berbisik.
***
Mean berpaling pada sisi kiri tempat tidur, melihat ponsel-nya sekilas, dan kembali menghadap pria kecil disampingnya. Ia menariknya pelan hingga rengkuhannya berhasil menjangkau tubuh pria-nya tersebut, dikecupnya pelan bahu si kekasi, "Cantik." Bisiknya kemudian.
"Hmm."
Mean mengeratkan rengkuhannya, berusaha menyalurkan perasaan hangat masing-masing pada tubuh tak berbusana keduanya, ia mendaratkan satu kecupan lagi pada bahu telanjang milik Plan, kali ini diberinya sedikit gigitan kecil.
"Dad, aku mengantuk. Hentikan"
Mean tertawa kecil, selalu saja ia tersipu dengan panggilan sederhana yang Plan berikan untuknya. Ia meletakkan kepalanya pada ceruk leher pria tersebut, "Sleep tight, sugar." Bisiknya pelan.
Lemon tertunduk dalam, ia berbalik, dirasakan persendian lututnya yang mulai kehilangan fungsi, ia menjauh dari pintu kamar Plan, berjalan pelan dan menghilang dibalik pintu kamar tidurnya. Kau benar-benar melakukannya, Plan. Bahkan disaat kau tau bagaimana setelahnya.
end