Plan selalu duduk termenung menatap butiran kecil gerimis yang mencoba menjamah bumi. Bau tanah basah yang entah bagaimana menjadi bau yang begitu ia gemari itu mulai memenuhi indera penciuman-nya dan memang itu yang Plan nanti-nantikan sejak tadi. Plan akan duduk diam di halte bus yang sudah tidak beroperasi lagi sejak tujuh tahun lalu itu setelah pulang sekolah—karna pemerintah membangun halte pengganti 50 meter jauh-nya dari halte lama tersebut. Plan memang suka menyendiri, ia benci keramaian karna itu akan membuat kepala-nya pening. Bangunan halte yang sudah peyot itu tak cukup mampu melindungi-nya dari gerimis, ujung sepatu Plan basah, dan sedikit air mulai mengenai kepala-nya, tidak ada lagi bus yang berhenti disana, Plan hanya duduk diam menanti hujan sampai deras atau sampai ia bosan dan kemudian pulang.
Sesuatu yang berat terasa pada bahu-nya, sebuah jaket berwarna coklat dengan bau kayu manis, Plan menerka, dan kemudian mendongak meski ia tau siapa sang tuan dari jaket di bahu-nya itu.
Pria yang jauh lebih besar darinya itu, tersenyum, dengan paying berwarna biru gelap yang masih terlipat.
Ah, pria ini lagi. Batin Plan.
Plan sangat membenci pria dengan mata bulan sabit itu, Plan begitu membenci pria yang selalu mengekor dibelakang-nya sepanjang waktu selama lima tahun terakhir. Pria itu selalu mengikutinya, bahkan mendaftar di sekolah yang sama dengan-nya. Namanya Mean, pria aneh yang selalu mengekori Plan kemanapun Plan pergi, sampai kawan-kawan di sekolah memberikan julukkan yang membuat Plan semakin mual.
Plan berdecak ketika Mean duduk terlalu menempel padanya, dengan senyum bodoh yang selalu ia tampilkan. Plan berpikir bahwa mungkin Mean sudah gila karna selalu tersenyum sepanjang waktu.
"Menyingkir dariku, Mean." Titah Plan. Ia jenuh dengan kehadiran Mean dihadapan-nya dan sangat muak untuk terus mencaci-maki pria tidak tau diri itu setiap saat.
Pria itu tak menjawab dan semakin menempel pada Plan. Melenguh, Plan malas berdebat. Bukan tanpa alasan Plan begitu membenci Mean, anak keluarga kaya raya yang hanya mengerti menyelesaikan masalah dengan uang, Plan tidak tau apakah ini termasuk balas budi karna keluarga Mean yang memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah-nya. Enam tahun lalu ketika Plan masih berusia sepuluh tahun, ibu-nya, keluarga satu-satunya yang Plan miliki mengalami kecelakaan ketika bekerja. Awalnya, ibu-nya mengalami kelumpuhan pada kaki, dan semakin hari semakin memburuk, Plan yakin bahwa ibu-nya bisa sembuh meski seluruh perawat berbisik bahwa usia ibu-nya tidak akan lama lagi. Hanya wanita itu yang Plan milikki di dunia ini, pikirnya kalau Plan bersikap baik, ibu-nya itu akan sembuh.
Plan belum mengerti soal apapun saat itu ketika dua orang pria dan wanita menghampiri-nya dan berlaku begitu baik. Plan hanya bocah berusia sepuluh tahun, ia tidak mengerti kalimat-kalimat yang orang dewasa itu katakan padanya, atau perkataan rumit dari para dokter di rumah sakit selain ibu-nya akan di operasi.
Plan yang masih sepuluh tahun itu menunggu ibu-nya bangun didepan ruang operasi dan ini sudah enam tahun berlalu. Ibu-nya tak pernah keluar dari sana lagi.
Ia berpikir bagian mana yang salah karna Plan sudah sangat bersikap baik, ia bahkan tak menangis sesuai janji-nya pada mendiang ibu. Plan rajin masuk sekolah, dan mengerjakan PR, namun mengapa wanita yang ia panggil ibu itu tak kunjung keluar dari balik pintu mengerikan tersebut?
Dua orang pria dan wanita itu merawat-nya semenjak hari dimana ibu-nya tak lagi keluar. Orang tua Mean. Plan menengadah mengenang hari itu, hari dimana ia begitu membenci Mean.
Mungkin. Mungkin saja, ibu-nya bisa sembuh dan hidup lebih lama bersamanya, berdua. Plan beralih, menatap Mean yang masih saja setiap tersenyum kearah-nya. Mean, pembunuh ibu-nya.
Benar sekali, ibu-nya mungkin bisa saja sembuh jika mereka berusaha sedikit lagi, namun tidak. Orang kaya memang terlahir dengan banyak sekali keuntungan termasuk membeli nyawa seseorang, Plan mengepal. Jantung milik ibu-nya berada didalam dada pria besar disamping-nya ini. Plan begitu murka mengingat bahwa Mean hidup baik-baik saja dengan jantung milik mendiang ibu-nya didalam tubuh pria itu sedangkan Plan harus mengalami hari-hari yang bagai di neraka akibat merindu sosok sang ibunda yang tidak peduli seberapa banyak Plan berlaku baik, ibu-nya tetap tidak akan pernah kembali.