Plan lebih senang melakukan pekerjaan paruh waktu tinimbang pekerjaan tetap. Dalam satu hari, Plan memiliki tiga pekerjaan paruh waktu. Di usia-nya yang sudah menginjak 25 tahun, Plan memang sudah seharusnya memiliki pekerjaan tetap dengan gaji sesuai UMR kota tempat-nya tinggal. Menurut Plan, lebih cepat mencari uang dengan pekerjaan paruh waktu seperti ini meski ia harus rela tubuh-nya penuh dengan koyok dan bau balsam setiap malam. Lebih melelahkan dengan tiga pekerjaan dalam sehari. Namun, bayangkan saja. Plan mampu menghasilkan uang sekitar lima ratus ribu sampai satu juta setiap minggu dengan pekerjaan paruh waktu. Plan dibayar setiap satu minggu sekali di masing-masing tempat kerja. Meskipun, uang dengan jumlah demikian tak mampu membuatnya menjadi seorang milyader. Tetapi, untuk orang yang hidup sebatang kara seperti dirinya, uang tersebut sudah cukup.
Plan tengah melakukan shift malam-nya di sebuah minimarket 24 jam di pinggiran kota. Dekat dengan sekolah swasta dan beberapa lembaga bimbingan belajar. Waktu menunjuk pukul dua dini hari, Plan berjinjit, memandang keluar menanti murid SMA pria yang sudah satu bulan ini rutin mengunjungi minimarket tempat-nya bekerja. Murid SMA pria yang Plan rasa sudah berada di tahun terakhir-nya di SMA, pria muda itu akan datang pukul dua dini hari, membeli makanan cepat saji, nasi tuna pedas, atau salmon roll, lalu duduk di bangku yang menghadap jendela. Menyantap makanan-nya dengan tenang. Plan ingat nama pria muda itu adalah Mean, pernah sekali Plan melihat name tag pria itu. Seusai menyantap makan malam yang kemalaman itu, Mean akan diam dengan segenggam yogurt rasa pisang, lalu pergi di jam tiga tepat.
Mean sangat pendiam. Dan yang membuat Plan merasa aneh pada pria itu adalah cara pria SMA tersebut memandang mata-nya. Plan suka dengan pandangan Mean yang menatap jauh kedalam retina mata-nya. Aneh, memang. Plan menyadari itu.
Plan mengernyit ketika melihat Mean mulai terlihat di ujung jalan. Pria itu masih mengenakan seragam sekolah-nya. Terlihat lusuh, dan kotor. Plan tertegun dengan bibir terkatup rapat ketika Mean mulai masuk kedalam minimarket dengan wajah babak belur, darah di sudut bibir, dan banyak luka gores di sekitar wajah-nya. Apa Mean baru saja berkelahi?
"Obat merah." Ucap Mean pelan.
Plan masih termangu sebelum akhirnya kembali tersadar. Dengan gerakkan kikuk dan tergesa, mencoba mencari obat merah yang memang diletakkan dibelakang meja kasir.
Mendapatkan apa yang ia cari, Plan terdiam sebentar.
"Plester, dan kapas." Mean melanjutkan.
Plan mengangguk cepat. Mengambilkan apa yang Mean minta. Menyebutkan harga setelah mengemasnya kedalam sebuah kantong kresek kecil.
Plan ragu, "Enggak papa?" Lirihnya.
Mean diam. Menatap Plan dengan pandangan yang Plan sukai itu. Cukup lama sampai Mean menggeleng ringan.
"Sakit." Ungkap-nya. Pandangan Mean yang terlihat sedikit berbeda dengan mata bengap itu masih terpaku pada kedua warna gelap milik Plan.
"Mau ngobatin?" Sambung Mean kemudian.
Plan lagi-lagi mengernyit, mendapati dirinya mengiyakan tawaran Mean dan mengajak pria SMA itu duduk di salah satu bangku yang menghadap jendela kaca itu. Plan bahkan merasa tak ragu sama sekali ketika ia mulai merawat luka-luka yang ada di wajah rupawan Mean.
"Habis... berkelahi?" Meski terdengar ragu, Plan mencoba bertanya. Sebenarnya, Mean terus menatap-nya, Plan hanya mencoba membuat suasana tidak terasa sangat canggung.
"Hmm." Mean membalas.
Plester terakhir, "Selesai." Ujar Plan pelan setelah berhasil merawat semua luka pada wajah pria itu. Mean tak membalas, bahkan sebuah ungkapan terimakasih. Plan juga tak mengharapkan itu. Namun, Mean tak kunjung bergerak, dan hanya menatap Plan semakin dalam.
"Suka film horror?" Tanya Mean tiba-tiba.
Meski sangat kebingungan, Plan menjawab dengan anggukkan yang begitu terlihat kaku. Mendadak saja membahas sebuah film horror? Mean memang aneh dan Plan lebih aneh lagi karna masih meladeni bocah SMA ini.
"Sabtu, jam tujuh malam." Mean tak mengeluarkan air wajah yang berati. Pria itu sangat kaku dan Plan semakin kebingungan.
"Ya?"
"Nonton film horror. Sabtu, jam tujuh." Ulang Mean.
Apa ia baru saja diajak berkencan di malam minggu dengan bocah SMA? Plan hampir menjatuhkan rahang-nya. Wajah Mean membuat kalimat penolakkan terasa sangat sulit dan Plan mengumpat didalam dada. Mean menatap-nya seperti seekor anak anjing yang baru saja dibuang oleh sang majikan. Ugh, Plan tak tega untuk menolak. Dan, Plan juga tak bertujuan untuk menerima. Well, ia dan Mean terpaut 8 tahun dan, demi Tuhan! Mereka bahkan tak saling mengenal secara pribadi. Plan tak menyangka hal ini akan terjadi.
"Eum..." Plan berdengung. Menatap Mean, dan semakin merutukki dirinya sendiri. Mean nampak manis meski pria itu tak menampilkan ekspresi apapun.
"O—oke." Final-nya.
Mean tak merespon ukara. Namun, pria itu menaikkan jari kelingking-nya. Masih menatap Plan.
Bingung, Plan menatap jari kelingking Mean dan si pemilik bergantian. Ia menghela dengan kekehan pelan.
"Janji kok." Balas Plan menyambut uluran pinky promise yang Mean ajukan.
Sepersekian detik. Plan mampu merasakan bumi berhenti dan hanya berpusat pada satu titik dihadapan-nya. Ketika Mean tiba-tiba saja tersenyum begitu lebar sampai kedua mata pria itu menyabit sempurna dan indah. Mean tersenyum. Dan dada Plan berdebar melihat senyum indah itu!
Plan hanya membutuhkan waktu satu detik untuk menyadari bahwa ia sudah lebih dulu jatuh cinta pada Mean malam itu.