#2

77 61 14
                                    

Kejadian itu terus berlanjut hingga aku duduk di bangku kelas 4. Suatu ketika, ketua kelas kami yang bernama Muslimin, memintaku untuk mengambilkan buku-buku di ruang guru yang sudah diberi nilai. Aku melongo, tentu saja itu bukan tugasku. Guru memberikan amanah itu padanya, lalu mengapa ia menyuruhku.

Sering kali aku melihatnya seperti itu, memerintah orang lain atas apa yang seharusnya ia lakukan. Ia mengoper tugasnya pada siapa saja yang ia mau. Begitu pula dengan tugas-tugasnya, hasil mencontek kesana-kemari. Kemudian guru akan memujinya karena mendapat nilai 100 di setiap mata pelajaran.

Tentu saja aku menolak perintahnya, lalu dia berteriak "Ku sebari nih namamu, Anti...Anti...Anti..." dengan tatapan tajam sepeti sedang mengancamku. Aku terkejut, bagaimana bisa ia tahu bila aku tidak suka membahas namaku itu. Aku menghela napas panjang, dalam pikiran sudah bergidik tentang hal apalagi yang akan menimpaku hari ini. Aku keluar dari kelas dengan wajah ditekuk, karena terpaksa menuruti titah ketua bagaikan raja itu. Aku bergumam pada diri sendiri namanya saja yang muslimin kelakuannya kayak setan. Lalu aku bergegas ke ruang guru dan membawa buku-buku itu ke ruang kelas untuk segera dibagikan.

Dari depan pintu ruangan dapat kulihat beberapa guru sedang berbincang sambil sesekali tertawa, mungkin mereka sedang bercanda. Lalu setelah permisi dengan sopan kepada mereka, aku langsung mengambil buku-buku yang ada di atas meja, kemudian segera pamit kembali ke kelas.

Setelah keluar dari sana, salah seorang anak laki-laki tiba-tiba mengambil sebagian buku yang kubawa dari tanganku. Ahya, dia teman sekelasku, namanya Rizal. Dia pergi begitu saja setelah mengambil buku-buku itu tanpa berkata sedikit pun. Aku bingung atas apa yang baru saja ia lakukan. Apakah niatnya ingin membantu, namun mengapa ia diam saja, tanyaku dalam hati. Sikapnya itu membuatku terus bertanya-tanya pada pikiranku sendiri.

"Oh, tidak. Dia sudah jauh." Seruku, untungnya aku segera tersadar dari lamunan konyol ini. Langkahnya begitu cepat, aku mengejar ketertinggalanku di belakangnya. Namun,

brakk!

Kali ini bukan aku saja yang terjatuh, buku-buku itu pun sudah melayang lalu berserak di bawah lantai. Kulihat sepertinya Rizal sudah tiba lebih dulu di dalam kelas, hingga tidak terlihat lagi punggungnya di koridor sekolah. Tidak ada waktu untuk merengek dan tidak ada pula orang di sekitarku untuk dimintai pertolongan, sebab jam pelajaran sebentar lagi akan dimulai. Siswa/i sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Aku bangkit dan memungut buku-buku itu, bergegas menyusul Rizal ke dalam kelas.

Sesampainya di depan kelas, kulihat Rizal membanting buku-buku itu di atas meja tepat di samping muslimin yang dengan tidak sopannya duduk di atas meja guru. Mata mereka saling beradu, seakan ingin keluar. Aku tidak tahu ada masalah apa di antara mereka berdua.

Aku kembali duduk di bangku tanpa ikut nimbrung obrolan bersama teman-teman yang lain. Aku merenung. Setiap hari kulalui hidup dengan perasaan pasrah. Ada saja kejadian-kejadian yang tidak terduga membuatku cemas dan juga gelisah. Kejutan apalagi yang akan terjadi pada hari esok? baik atau buruknya aku sudah tidak takut, namun kuharap tidak ada tangisan putus asa, hanya itu saja yang bisa kupikirkan. Kelas 1 sampai kelas 4 SD, aku sudah menanggung perasaan nanar seperti ini.

Menanggung perkataan dari luar memang membuat batinku semakin sesak, sakit hatiku kian berkembang dengan sendirinya. Tidak sedikit dari teman-teman yang senang mengomentari persoalanku ini. Mereka mengatakan bahwa tidak ada nama yang sama denganku di dunia ini, dan tidak ada orangtua yang akan memberikan nama itu kepada anaknya. Mendengar hal tersebut aku merasa sedih dan sangat kecewa, seakan-akan aku ingin lari sekencang-kencangnya meninggal dunia ini, namun aku tidak bisa bergidik dan terus saja menundukkan kepalaku. Mereka hanya tertawa, mengganggap hal itu seperti guyonan sehari-hari. Seandainya mereka tahu kalau hatiku pun meronta-ronta. Aku juga ingin memiliki nama yang bagus dan cantik, juga membawa nasib baik, terutama bagi diriku sendiri. Berkali-kali kualami kesialan dari nama ini, yang kulakukan hanyalah pasrah dan sabar melaluinya.

Setelah jam pelajaran selesai, aku bersama teman-teman seperti biasa akan ke pergi kantin terlebih dahulu, lalu menghabiskan makanan di bawah pohon rindang sambil mengobrol.

"Cha, kau tak mau ganti nama emangnya?" kata Yanti. Aku menoleh padanya dengan raut wajah heran dan penuh tanda tanya, memangnya bisa ganti nama tanyaku dalam hati.

"Namaku dulu Citra kata mamakku, terus diganti karena waktu masih bayi aku sering sakit-sakitan. Syukurnya sekarang aku sudah sehat-sehat aja," tutur Yanti.

"Ada yang bilang juga sama ku, boleh kok kita ganti nama sebelum umur 17 tahun." Sambungnya.

Tanpa pikir panjang, sepulang sekolah akan segera kusampaikan pada ibu. Aku sangat bersemangat hingga ingin sekali bergegas pulang ke rumah saat itu juga.

**

Ibu sedang menyisir rambutku di siang hari yang terik itu, ia membantuku bersiap-siap untuk pergi mengaji. Sedangkan aku sibuk melamun mememikirkan bagaimana caranya untuk menyampaikan pada ibu tentang keinginanku yang ingin berganti nama. Sudah semingguan ini kutunda, sebab masih bingung, entah apa yang kupikirkan. Ah! Terlalu lama mengulur waktu, selagi ada kesempatan ku katakan saja sekarang.

"Ibu" panggilku.

"Ia, kenapa sayang?" Sahutnya.

"Acha mau ganti nama."

"Ganti nama? Kenapa?" tanya ibuku heran, namun tetap menyisir rambutku.

"Tidak papa bu, ganti yaa," suaraku menjadi agak serak, suasana hati pun tiba-tiba saja begitu melow.

Ibu menjelaskan bahwa namaku bagus, kenapa ingin diganti. Nama itu pemberian, tidak bisa diganti semudah itu. Harus mengganti kartu keluarga dan mengurus surat-surat pergantian nama. Membutuhkan waktu yang amat panjang dan proses yang ruwet untuk itu.

"Bisa kok bu kata kawan Acha sebelum umur 17 tahun. Si Yanti kok mudah ya bu ganti nama?"

"Ia, karena dia ganti nama waktu masih bayi, sebelum buat kartu keluarga," jelas ibuku.

Aku tetap kukuh ingin ganti nama, walau harus menunggu surat itu selesai hingga umur 17 tahun. Ibu bertanya padaku ingin diganti dengan nama apa.

"Terserah bu. Yang cantik, memiliki arti yang indah dan membawa nasib yang baik. Apa saja," sahutku.

Setelah selesai bersiap-siap, ibu menyuruhku untuk segera berangkat mengaji agar tidak terlambat. Aku senang sekali, aku akan segera berganti nama. Namaku akan cantik seperti nama teman-temanku. Aku pergi dengan perasaan senang dan senyum yang lebar di wajah.

***Bersambung***

Kita Masih Dalam Masa PertumbuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang