#3

58 46 9
                                    

Hari-hari berlalu begitu cepat dan semakin melelahkan bagi Ica, sebab ia merasa seakan harus membelah diri untuk bermain dengan kedua adiknya. Selalu saja terjadi pertengkaran di antara mereka. Bahkan sekarang semakin sering beradu mulut dan lebih terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan terhadap masing-masing. Bila sudah terlalu lelah, terkadang Ica hanya duduk termangu di ayunan, tanpa memperdulikan perdebatan di antara keduanya. Pokoknya kalau belum ada tanda-tanda bahaya, Ica tidak akan menengahi keduanya. Sebenarnya selama ini pun Ica bingung, apa yang mendasari peraduan mulut di antara mereka yang terjadi setiap harinya.

Lamunan Ica seketika buyar, saat tanda bahaya itu seakan berdering seperti alarm yang memberi respon refleks yang tiba-tiba mengagetkan. Anak laki-laki yang sedang bermain lari-lari di lapangan tidak sengaja menabrak punggung Putri.

"Kak Ica itu mainnya sama a.. AAAAAKKKKKH!"

Ica yang posisinya membelakangi Putri saat bermain ayunan ingin menangkap adiknya dengan secepat mungkin, namun tidak terkendali. Sedangkan Ipit berada di depan Putri ketika kejadian itu terjadi dan tidak sempat mengendalikan diri, ia pun terkejut dengan membelalakkan matanya dan terjatuh bersama gadis kecil itu.

Spontan, Ipit mendorong tubuh putri yang menimpa tubuhnya ke sembarang arah, karena kepala Ipit terasa sakit terbentur semen.

"Akhh," aduhnya sambil memegangi kepala. Ipit membuka mata, ia melihat Ica sedang memeluk Putri.

"Putri, udah yaa tidak papa kok," kata Ica kepada adik kecilnya yang sedang menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk Putri dan mengelus-elus kepalanya.

"Yang mana yang sakit? Nanti kita obatin yaa, nanti kita beli jajan banyak-banyak yaa, udah udah tak papa Putri." Sambungnya.

Melihat hal tersebut emosi Ipit memuncak lalu memecahkan tangis, ia sudah tidak tahan lagi. Ia mencoba berdiri dan menghampiri Ica.

"Kak, Ipit juga jatuh. Liat nih luka-luka di di tangan Ipit, kepala Ipit juga sakit kena semen," ucap Ipit dengan suara yang sengau karena menangis sambil menunjuk luka-luka di sikutnya.

"Kenapa sih kakak malah nengokin dia dulu? Ini tuh salah dia, Ipit yang luka-luka jadinyaa. Semua gara-gara dia." Sambung Ipit, sambil menunjuk ke arah Putri bersamaan dengan suaranya yang semakin meninggi.

Tanpa memperdulikan perkataan Ipit, Ica langsung membawa gadis kecil itu pada guru kelas 0 besar agar segera diobati. Ia meninggalkan ipit di lapangan. Ipit pun terduduk di lantai lapangan sambil menangis tersedu-sedu.

Setelah mengantarkan Putri, Ipit melihat Ica melewati koridor MDA ingin menuju ke arah kelas. Ia kembali tanpa melihat bagaimana keadaan Ipit. Menyadari hal tersebut, Ipit segera berdiri lalu mengejar kakaknya.

"Kak Ica, kak..." Suaranya serak, sudah hampir habis karena menangis, namun Ica tetap saja masuk ke dalam kelas.

Ica merasa seharusnya Ipit tidak bersikap seperti itu terhadap Putri, karena Putri lebih kecil daripada dia.

"Kak, keluar dulu dari kelas," pinta Ipit sambil menangis sesegukan. Ica yang sudah terlanjur tidak bisa menerima perlakuan Ipit, tidak tergerak sama sekali dari tempat duduknya, ia malah menanggap seperti tidak ada orang di balik jendela.

"Kak, kenapa sih? Kan aku duluan yang kenal kakak. Aku duluan yang main bareng kakak. Aku duluan yang ngajak kakak main hari ini. Aku duluan kak, aku duluan...," ucapnya lirih, seperti sudah tidak memiliki tenaga. Ipit mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini tersimpan dibalik kekesalan dan pertengkaran yang ia lakukan bersama Putri.

Hati Ica mulai tergerak, ia tidak tega bersikap dingin terlalu lama pada adiknya itu. Memang benar yang di ucapkannya, namun kekesalan Ipit itu salah. Akan tetapi Ica masih saja belum bergerak dari tempat duduknya.

Kita Masih Dalam Masa PertumbuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang